Minggu, 12 Desember 2010

KONSEPSI MANUSIA DALAM QUR’AN (Kajian Tentang Manusia Sebagai Khalifah fi al-Ardl)

A. Prolog
Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Kepribadian dan hakikat diri manusia itu sendiri sangat unik bahkan sangat sulit dipahami oleh manusia itu sendiri. Sehingga kajian-kajian untuk memahami manusia sesungguhnya banyak melahirkan disiplin-displin keilmuan yang beragam seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi. Manusia sebagai subjek dan objek alam melahirkan proses yang berkesinambungan yang menciptakan ragam budaya dan corak kehidupan yang berbeda-beda. Begitu banyak dimensi yang ditemukan dalam diri manusia sehingga studi terhadap manusia semakin lama semakin berkembang dan dinamis.
Dalam sudut pandang agama, manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Begitu banyak karunia dan kelebihan yang dimilikinya sehingga peran manusia di bumi menjadi sangat sentral dalam merancang kesinambungan kosmos dimana manusia hidup. Dengan kondisi yang sempurna, maka ada tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Sebagai makhluk yang sempurna, maka ada amanat tersendiri bagi manusia yang harus dijalankan dengan merujuk pada petunjuk Tuhan yang terangkum dalam kitab-kitab-Nya.
Amanah yang diemban manusia sebagai mandataris Allah, menuai beberapa interpretasi. Sebagian mufassir mengartikan bahwa tugas manusia hanya terbatas pada tugas-tugas keagamaan, sebagian mufassir lainnya mengartikan bahwa amanah tidak hanya terbatas pada tugas-tugas keagamaan an sich, tetapi lebih luas lagi yaitu mengemban tugas-tugas khilafah dalam mengembangkan berbagai sumber daya yang telah disediakan oleh Allah SWT di muka bumi.
Melalui firman-Nya dalam al-Qur’an, Allah SWT telah memproklamirkan manusia sebagai makhluk unggulan, makhluk istimewa, dengan dibekali dengan berbagai potensi insani yang luar biasa. Potensi-potensi ini manakali dikembangkan secara professional, akan menjadikan manusia sebagai makhluk berbudaya, berperadaban dan lebih memantapkan dirinya sebagai mandataris Allah di bumi (khalih fi al-ardl). Akan tetapi, apabila pengembangan potensi tersebut tidak tepat, manusia bisa menjadi monster yang dapat merusak dan mengancam kedamaian dunia.
Hal inilah yang menarik untuk selalu dikaji dan dikembangkan. Bahwa manusia diberi mandat oleh Allah untuk menjadi pemimpin di muka bumi, adalah bukan sesuatu hal yang main-main bagi Allah SWT. Karena hal ini juga pernah dipertanyakan oleh para malaikat, ketika Allah mengumumkan akan menciptakan seorang makhluk di muka bumi dan sempat diprotes oleh kalangan malaikat, akan tetapi Allah dengan kebesaran-Nya mengeluarkan statmen sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui. Untuk menggali tentang manusia dalam perspektif Islam, maka kita harus memulainya dari sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an banyak sekali memaparkan tentang manusia dari masalah penciptaannya sampai dengan bagaimana manusia menjalankan mandat Allah yang telah dipikulkan kepadanya.

B. Sejarah Manusia dalam Al-Qur’an
dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan proses penciptaan manusia. Setidaknya ada lima penggunaan istilah yang menjelaskan tentang model penciptaan manusiam yaitu al-ma’, an-nafs atau anfus, at-tinm. Berikut akan penulis paparkan ayat-ayat yang berkenaan dengan istilah-istilah tersebut :


1. al-Ma’ (air)
Seperti dalam surah al-Furqan ayat 54:
              )


Artinya, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”

2. al-Nafs atau al-Anfus
Dalam surat An-Nisa ayat 1 dijelaskan terkait dengan penciptaan manusia dari nafs atau anfus.
 ••                 •       •     

Artinya, “Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari Nafs yang sama dan daripadanya Allah menciptakan pasangan daripada keduanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisa ayat 1)

3. al-Tin (tanah)
Dalam penciptaan manusia dari unsur tin, Allah SWT berfirman :
  •         
Artinya” Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.


Berkaitan dengan pemaknaan diatas Aminah Wadud dalam Qur’an and Women mengutip al-Maududi tentang proses penciptaan manusia bahwa hal tersebut mencakup tiga hal;
1. Penciptaan awal (initiation)
2. Penyempurnaan (perfection)
3. Memberikan kehidupan (giving a live)
Menurut ibn Katsir dari empat konsep penciptaan manusia yaitu :
1. Penciptaan Adam dari tanah tanpa ayah dan ibu
2. Penciptaan hawa dari laki-laki tanpa perempuan
3. Penciptaan Isa dari seorang perempuantanpa laki-laki
4. penciptaan manusia dari proses pembuahan
Sementara itu para fakar tafsir seperti Muhammad Abduh mempunyai pandangan lain mengenai makna nafs sebagai jenis (sejenis tanah yang sama). Asal penciptaan perempuan yaitu Hawa pada umumnya mengacu pada kata nafs dalam
1. surah An-Nisa ayat 1
 ••                 •       •     
Artinya, “Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari Nafs yang sama dan daripadanya Allah menciptakan pasangan daripada keduanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.




2. Surat al-‘Araf ayat 189
                      •      •   

Artinya, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
3. Surat al-Zumar ayat 6
                  •                      

Artinya, “Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?”

Dalam pengertian yang lain, Ibnu Maskawaih mengatakan, manusia merupakan alam kecil (microcosmos) yang di dalam dirinya terdapat persamaan-persamaan dengan semua yang ada di alam besar (macrocosmos). Panca indera yang dimiliki manusia, disamping mempunyai daya-daya yang khas, juga mempunyai indera bersama (hissi musytarokah) yang berperan sebagai pengikat sesama indera. Indera bersama ini dapat memberi citra- citra inderawi secara serentak tanpa zaman, dan tanpa pembagian. Citra-citra itu saling bercampur dan terdesak pada indera tersebut.
Beberapa tokoh seperti al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd, menyatakan bahwa hakikat manusia dalam sejarah penciptaannya dapat di bagi dua komponen yang penting. Yaitu : 1) komponen Jasad, menurut al-Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri dari atas organ. begitu juga dengan al-ghazali memberikan sifat jasad manusia yang ada di dalam bumi ini, yaitu dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, ini tidak berbeda dengan benda-benda yang lainnya. sedangkan Ibn Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi. 2) komponen jiwa, yang menurut al-Farabi komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam Khaliq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. Hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan, walaupun menyamai Dzat-Nya. sedangkan menurut al-Ghazali, jiwa ini dapat berfikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. sedangkan unsur jiwa merupakan unsur rohani sebagai penggerak jasad untuk melakukan kerjanya, yang termasuk alam ghaib. Ibn Rusyd memandang jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awalk ini karena jiwa dapat dibedakan dengan kesempurnaan lainnya yang merupakan pelengkap dirinya. Seperti yang terdapat pada perbuatan, sedangkan yang disebut dengan organik karena jiwa menunjukkan jasad yang terdiri dari anggota-anggota.
Dari beberapa penjelasan sejrah manusia dalam al-Qur’an dan pendapat para tokoh di atas, dapat simpulkan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen jasmani dan rohani. Komponen jasmani berasal dari tanah. Sebagaimana yang dikemukakan di dalam al-Qur`an Surat as-sajadah ayat 7 :



  •         
Artinya : Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Dan komponen rohani ditiupkan oleh Allah, sebagaimana diungkapkan di Dalam al-Qur`an surat al-Hijr ayat 29 :
         
Artinya : Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Dengan kata lain manusia adalah satu kesatuan dari mekanisme biologis, yang dapat dinyatakan berpusat pada jantung (sebagai pusat kehidupan) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (sebagai lambang berfikir, merasa dan bersikap). Tetapi berbeda apa yang disampaikan oleh Ibnu Maskawaih, bahwa Ia tidak memasukan hayah (unsur hidup) sebagai salah satu dari kedua komponen tersebut. Ia beralasan hayah berdiri sendiri. Hal ini karena pada diri manusia ketika dalam bentuk embrio sudah terdapat kehidupan walaupun roh belum ditiupkan. Sedangkan hayah sendiri terdapat pada sperma dan ovum yang membuat embrio menjadi hidup dan berkembang. Dengan demikian manusia adalah perpaduan antara tiga unsur ciptaan Allah. Yang berupa materi, jiwa (imateri), dan hayah (unsur hidup).
Selanjutnya dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia menurut al-Qur’an pada dasarnya dapat ditempatkan ke dalam tiga kategori, yaitu :
1) manusia sebagai makhluk biologis (al-Basyar) pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk-makhluk biotik lainnya walaupun struktur orangnya berbeda, Sebagaimana tertera di dalam al-Qur`an surat al-Hijr ayat 28 :
           • 
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Karena sesungguhnya struktur organ manusia lebih sempurna dibandingkan dengan makhlik-makhluk yang lainnya. Sebagaimana tertera di dalam al-Qur`an surat at-Tiin ayat 4 :
      
Artinya : Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
2) Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai ruhani seperti fitrah, sebagai mana tertera di dalam al-Qur`an surat ar-Ruum ayat 30 :
         ••             ••   
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dan juga manusia mempunyai Qalb, termaktub pada al-Qur`an surat al-Hajj ayat 46 :
              •          
Artinya : Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Selain Qalb manusia juga mempunyai aqal, tertera di dalam al-Qur`an surat al-Imran ayat 190-191 :
       •                         • 
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka (191)
Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya, yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sebagaimana yang disinyalir di dalam al-Qur`an surat : Bani Isra`il ayat 70 :
                 
Artinya : Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
Artinya potensi tersebut tidak dapat digunakan dengan baik manusia tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih hina. Sedangkan bentuk insaniahnya (humanisme) terletak pada iman dan amalnya.



3) manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta.
Ketiga kerangka tersebut akan digunakan bahan pijakan pada sub pembahasan selanjutnya kaitannya dengan hakikat manusia, tujuan hidup manusia, kedudukan manusia, serta tugas manusia, yang nantinya akan ditemukan titik temu mengapa manusia terpilih dan dipilih oleh Allah menjadi Pemimpin "khalifatullah" di muka bumi ini.

C. Konsep Manusia Sebagai “Khalifah “ Dalam al-Qur’an
Sebelum kita membahas hakikat manusia, terlebih dahulu penulis kemukakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar filosofis dalam pandangan pendidikan Islam, dan dari pandangan ini nantinya akan dikembangkan di dalam filsafat pendidikan manusia dengan sumber potensi yang dimiliki oleh manusia.
Al-syaibany dalam hal ini menyebutkan delapan prinsip. yaitu :
a) Manusia adalah makhluk yang paling mulia di alam ini. Allah telah membekalinya dengan keistimewaan-keistimewaan yang berhak mengungguli makhluk lain.
b) Kemuliaan manusia atas makhluk lain adalah karena manusia diangkat sebagai khalifah (wakil) Allah yang bertugas memakmurkan bumi atas dasar ketakwaan.
c) Manusia adalah makhluk berfikir yang menggunakan bahasa sebagai media.
d) Manusia adalah makhluk tiga dimensi seperti segi tiga sama kaki, yang terdiri dari tubuh, akal, dan ruh.
e) Pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan.
f) Manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan.
g) Manusua sebagai individu berbeda dengan manusia lainnya, karena pengaruh faktor keturunan dan lingkungan.
h) Manusia mempunyai sifat luwes dan selalu berubah melalui proses pendidikan.
Mengacu pada delapan prinsip di atas, kiranya kita dapat mengetahui hakikat manusia yang sebenarnya.
Kemudian, di bawah ini akan di bahas hakikat manusia dari pandangan Islam yang ditinjau dari aspek tujuan hidup, kedudukan, dan tugas manusia sebagai kholifah.
1) Tujuan Hidup Manusia
Tujuan hidup atau untuk apa sebenarnya manusia ini hidup telah termuat dalam firman Allah surat al-Dzariyat ayat 56, yaitu :
      
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Bahwa Allah menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas, yaitu nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan. Pendeknya, tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah dalam segala tingkah laku.
Tujuan hidup ini pada nantinya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, sebab pada dasarnya tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk memelihara dan mengarahkan kehidupan manusia. Manusia yang seperti apa nantinya nantinya dapat dibentuk tergantung kepada tujuan hidup yang hendak dicapai oleh seorang muslim.
2) Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia dalam pandangan al-Qur`an adalah Khalifah Allah di bumi. Sebagai mana yang terkandung di dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 30 :
                     •         

Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? " Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
surat an-Nuur ayat 55 :
       •              •                   

Artinya : Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Kata khalifah dapat diartikan sebagai mereka yang datang kemudian sesudah kamu, yang diperselisihkan, silih berganti, berselisih, dan pengganti . Dari pengertian ini kalau kita tarik dalam kata khalifatullah dapat diartikan sebagai "pengganti Allah". pengertian ini menurut Dawam Rahardja mempunyai tiga makna, pertama, khalifah Allah adalah Adam, dan juga sebagai simbol manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah khalifah. Kedua, khalifah Allah itu adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu kedudukan khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi, ketiga, khalifah Allah itu adalah kepala negara atau kepala pemerintah. dari ketiga makna tersebut kiranya dapat mendukung untuk dapat diterapkan dalam hal posisi manusia sebagai khalifah Allah.
Sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, Hasan Langgulung menggolongkan manusia mempunyai beberapa sifat karakteristik, antara lain :
a) sejak awal penciptaannya, manusia adalah baik secara fitrah. Ia tidak mewarisi dosa Adam meninggalkan syurga
b) interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah. Karakteristik ini yang dapat membedakan dengan makhluk yang lainnya.
c) Mausia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will) suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri.
d) Manusia dibekali aqal yang dengan aqal itu manusia membuat pilihan antara yang benar dan yang salah .



3) Tugas dan Fungsi Manusia dalam Kehidupan
a) Manusia sebagai hamba Allah (Abdullah)
Manusia selaku hamba Allah selalu tunduk kepada-Nya. Adalah maksud diciptakannya manusia adalah sebagai hamba Allah. Sebagai seorang hamba, manusia diwajibkan beribadah kepada penciptannya yaitu Allah SWT. Dalam arti selalu tunduk dan taat perintah-Nya, guna mengesakan dan mengenal-Nya sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
Ibadah secara haefiyah adalah rasa tunduk (taat) melakukan pengabdian (tanassuk) merendahkan diri (khudlu) menghinakan diri (tadzallul) dan istikhanah. Sebagaimana yang digambarkan oleh Muhammad Abduh, menginterpretasikan kata "na`budu" yang terdapat di dalam surat al-Fatihah, adalah sebagai rasa ketaatan dengan penuh kemerdekaan dan setiap ungkapan yang menggambarkan makna secara sempurna. Selanjutnya Abduh menegaskan bahwa ibadah pada hakikatnya adalah sikap tunduk semata-mata untuk mengagungkan dzat yang disembahnya, tanpa mengetahui dari mana sumbernya dan kepercayaan terdapat didalamnya tidak dapat dijangkau pemahaman dan hakikatnya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa ibadah bukan berarti seseorang yang sangat rindu mengagungkan dan mematuhi kekasihnya, sehingga kemauan dirinya menyatu dengan kehendaknya. tidak berbeda juga pendapat yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah yang memformulasikan nilai ibadah dengan segala usaha yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Abu A`la al-Maududi, menyatakan bahwa ibadah dari akar kata `abd yang artinya "pelayan" atau "budak". Jadi hakikatnya ibadah adalah penghambaan dan perbudakan. Sedangkan dalam arti terminologinya adalah usaha mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan Allah dalam menjalankan kehidupan yang sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Dari mulaiaqil baligh hingga samapai meninggal dunia. Indikasi ibadah adalah kesetiaan, kepatuhan, dan penghormatan, serta penghargaan terhadap Allah.
Ibadah dalam hal ini terdapat dua pengertian yaitu pengertian khusus (Khos) dan pengertian umum (`aam). Dalam pengertian khusus ibadah adalah melaksanakan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannyayang tata caranya telah diatur secara terperinci di dalam al-qur`an dan as-Sunnah, sedangkan ibadah dalam artian umum adalah aktifitas yang titik tolaknya ikhlas dan ditunjukkan untuk mencapai ridho Allah berupa amal shalih.
Letak esensi Islamnya adalah terciptanya muslim sejati dengan keikhlasan beribadah kepada Allah. Dengan jaminan mendapatkan keadilan, kemakmuran, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan hidup tanpa batas ruang dan waktu. Sedangkan ibadah dilihat dari segi sasarannya dapat diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu, ibadah person, ibadah antar person dan ibadah sosial.
b) Manusia Sebagai Khalifatullah
kehidupan manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah (QS. 2:30), (38:26), sebagai pengganti dan penerus person (species) yang mendahuluinya. Sebagaimana termaktub di dalam al-Qur`an surat al-A`raaf ayat 169 :
                              •             
Artinya : Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka Telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?.
Kemudian manusia sebagai pewaris-pewaris di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat
•            •    •  
Artinya : Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).
Disamping itu manusia adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi dan gunung, yang semuanya enggan menerimanya, namun dengan ketololannya manusia mau menerima amanah itu, yang terkandung di dalam al-Qur`an surat al-Ahzab ayat 72 :
                   
Artinya : Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Kemudian manusia menjadi pemimpin atas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, hal ini disampaiakan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar. Yang kesemuanya itu merupakan atribut dari fungsi manusia sebagai "khalifah Allah" di muka bumi.
Penciptaan manusia sebagai makhluk tertinggi sesuai dengan maksud dan tujuan terciptanya manusia untuk menjadi khalifah. Secara harfiyah khalifah berarti yang mengikuti dari belakang. Jadi khalifah adalah wakil atau pengganti di bumi dengan tugas menjalankan mandat dari Allah, membangun dunia sebaik-baiknya (surat al-Baqarah : 30) dan surat al-An`am ayat 165, yang berbunyi :
               •       
Artinya : Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebagai khalifah juga manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas tugasnya dalam menjalankan mandat Allah, disinyalir di dalam al-Qur`an surat Yunus ayat 14, yang berbunyi :
          
Artinya : Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.

D. Implikasi Konsep Khalifah fi al-Ardl Terhadap Pendidikan Islam
Dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali oleh Allah SWT dengan berbagai potensi. Potensi-potensi yang diberikan Allah merupakan anugrah yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lainnnya. Potensi-potensi ini dikenal dengan istilah fitrah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang memungkinkan ia menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Hadis ini mengisyaratkan sejak lahir telah dibekali potensi-potensi yang disebut fitrah.
Fitrah kiranya merupakan modal dasar bagi manusia agar dapat memakmurkan bumi dan mengembangkannya untuk kebutuhan hidupnya di dunia dan juga sebagai sarana penunjang dalam meraih kehidupan ukhrawi yang hakiki. Berkenaan dengan potensi (fitrah yang dimilikinya, manusia diberi beberapa predikat oleh para ahli filsafat, antara lain manusia sebagai homo sapiens (makhluk berbudi pekerti), homoanimale rationale (yang dapat berpikir), homo laquen (pandai menciptakan bahasa) dan beberapa predikat lainnya.
Pandangan Islam di atas kiranya memiliki implikasi, bahwa seandainya manusia dibiarkan saja tanpa diberikan pendidikan, maka manusia dengan sendirinya akan menjadi baik, sebab manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali potensi kebaikan. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah manusia tidak dapat terlepas dari pengaruh lingkungannya., baik lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi perkembangan potensi manusia. Potensi yang dimiliki akan stagnan dan inefisiensi apabila tidak diarahkan dan dikembangkan. Untuk mengembangkanny haruslah melalui proses pendidikan.
Setidaknya ada tiga dimensi yang harus dikembangkan dalam menentukan orientasi pendidikan Islam untuk memantapkan posisi manusia sebagai khalifah fil ‘ardl, yaitu :
a. Dimensi kepribadian sebagai manusia, yaitu kemampuan untuk menjaga integritas, termasuk sikap, tingkah laku, etika dan moralitas yang sesuai dengan masyarakat.
b. Dimensi produktivitas, yakni menyangkut apa yang dihasilkan oleh manusia. Idealnya adalah dapat menghasilkan jumlah yang banyak dengan kulaitas yang lebih baik, dinamis dan inovatif. Sebagaimana firman Allah QS. An-Nahl : 97 :
         •    •      

Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
c. Dimensi kreativitas, yakni kemampuan seseorang untuk berpikir dan berbuat kreatif, menciptakan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. Akal kreatif manusia (potensi akal) dan ungkapan ekspresinya (potensi kalbu) yang menjadikan ia mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pembawa amanah “Abdullah” sekaligus “kahlifatullah” di tengah-tengah posisinya yang unik dalan sistem kemakhlukan dan posisinya yang menonjol dalam hubungannya denganAllah SWT. Manusia yang dapat mengembangkannya sumber daya seperti itu, mendapat konsesi dari Allah SWT untuk menundukkan dan mendayagunakan beragam sumber daya , baik sunber daya alam, maupun sumber daya teknologi, bahkan mungkin sumber daya supranatural yang tidak teridentifikasi, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 32-33 :
            •                         • 
32. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”
33. “Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”

E. KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, semakin jelaslah betapa penting peran seorang manusia dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah fil ‘ardl. Ketika manusia memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin di muka bumi, maka manusia harus mengedepankan tiga hal yaitu kepribadiannya sebagai manusia yang membedakannya dengan makhluk lain yang bertugas untuk tetap menggalang integritas termasuk mengedepankan etika, tingkah laku serta akhlak yang diaplikasikan di masyarakat. Kemudian mengembangkan produktivitas terkait dengan bagaimana mengelola beragam sumber daya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, serta kreativitas yakni mengembangkan sisi irfani manusia dalam mengembangkan rekayasa teknologi dari dinamika ilmu pengetahuan yang menuntutnya untuk selalu berpikir kreatif-inovatif.

Implikasi akan eksistensi manusia sebagai pemimpin di muka bumi terhadap pendidikan Islam, tentunya membawa dua impact, yaitu potensi positif dan negatif. Dan sebagai manusia kita harus dapat merubah potensi negatif tersebut kearah potensi positif yang diharapkan akan melingkupi berbagai aktivitas manusia untuk senantiasa memperhatikan kemaslahatan dirinya dan alam semesta.

ETOS KERJA PERSONALIA PENDIDIKAN (Tela’ah terhadap kinerja personalia pendidikan di Indonesia)

Oleh; M. Yusron, M.S.I

Abstract

It's no secret that one of the factors of weakness in the Indonesian education system is the lack of human resources is adequate. The number of human resources that are less qualified education berimpas to stagnation. Personnel education in Indonesia is poor as a framework to run, they often look lazy, and tend to be passive, to look like a chess pawn that according to the master when he's running where. Therefore, reform and improvement of the work ethic of the personnel should be on improving education, by improving the quality of education quality in Indonesia.

A. Pendahuluan

Produktivitas lembaga pendidikan selama ini sangat akrab dengan berbagai persoalan yang meyangkut tenaga kependidikan yang dimiliki. Justifikasi terhadap terpuruknya lembaga pendidikan yang disebabkan oleh lemahnya tenaga personalia pendidikan yang dimiliki, sudah sangat akrab dikalangan telinga pemegang kebijakan pendidikan, pakar pendidikan, praktisi pendidikan, bahkan pada pelaku pendidikan itu sendiri.
Data di lapangan menunjukkan bahwa, kualitas kerja (kemampuan dan motivasi) yang dimiliki oleh dunia pendidikan sangat memprihatinkan. Rumitnya masalah administasi pendidikan, ketertinggalan Departemen Pendidikan (Diknas) dengan departemen lain, dan berbagai kasus lain menunjukkan betapa lemahnya kualitas kerja sumber daya manusia (personalia) yang dilimiki oleh lembaga pendidikan pada khususnya lembaga Pendidikan.
Pada saat dewasa ini, sadar ataupun tidak sadar dunia pendidikan telah berada pada era IT (Informasi dan Tekhnologi), ini artinya bahwa penggunaan tenaga mesin sudah mulai diprioritaskan sebagai pengganti dari tenaga manusia yang selama ini dipakai. Tantangan ini seolah semakin memperkeruh keadaan para personalia institusi pendidikan, berbagai pertanayaan muncul searah dengan fenomena ini, antara lain; Bagaimanakah prinsip kinerja personalia dalam pendidikan? Kapankah pembenahan kinerja personalia pendidikan dilakukan? Sudahkah personalia pendidikan Imempersiapkan diri mengahadapi globalisasi seperti sekarang ini? Dan upaya apa saja yang dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas personalia pendidikan merupakan berbagai pertanyaan yang sedidikit “Adigang, Adigung, Adiguno”.

B. Etos Kerja
1. Tela’ah Filosofis Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani Ethos yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan ataupun cara pandang atas seuatu atau pekerjaan. Cara pandang yang dimaksud tidak hanya sebatas seseorang melainkan juga sekelompok orang bahkan masyarakat, bangsa dan negara . Dalam pengertian agama, Islam memandang bahwa etos kerja adalah sebuah konsekwensi logis dari penciptaan manusia sebagai kholifatullah, yaitu wakil Allah dalam terminologi sebagai mahkluq yang menjaga bumi dan isinya agar dimanfaatkan sebagai bekal memenuhi kebutuhan hidup untuk senantiasa beribadah kepada-Nya .
Etos kerja mulai massif digunakan pada masa renaissanse, hal ini didasari atas realita bahwa pada saat itu masyarakat memandang bahwa kerja adalah sebuah seatu yang hina, kerja merupakan sesuatu yang tidak ada maknanya, dan pada saat itu mereka cenderung berfikir bahwa yang paling utama adalah bagaimana memuliakan Tuhan dengan berbagai cara yang wajib ditempuh. Realitas ini bahkan berdampak pada keterpurukan yang sangat mendalam terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sampai akhirnya kesadaran baru muncul yang dibawa oleh kelompk protestan yang memandang bahwa memuliakan Tuhan juga harus diwujudkan dengan bekerja keras, bukan semata berdo’a .
Dalam pandanganan agama, Islam sebagai agama yang boleh dikatakan full power dengan prinsip-prisip kemaslahatan seakan menghadapi polemik yang sama bahwa masalah etos kerja adalah problem pelik yang sudah teridentifikasi lama, namun sampai sekarang masih belum ditemukan solusinya. Sejarah membuktikan bahwa, filsafat Islam klasik yang lebih mempriortitaskan masalah ke-ilahi-an telah menjadikan umat-umat muslim yang inferior dan eksklusif. Akumulasi dari titik kejumudan ini adalah munculnya ulama’-ulama’ Islam pada abad pertengahan dengan berbagai eksperimen yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan, dengan tidak merubah tujuan inti dari ibadah yaitu mencari ridlo Allah SWT .
2. Prinsip-Prinsip Etos Kerja
1. Commitment:
Memiliki niat yang kuat dan tidak ada kata menyerah dalam menghadapi tantangan.
2. Confidence :
Percaya diri, memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dan berani mengambil segala resiko (konsekuen).
3. Cooperative :
Terbuka dan bekerja sama dalam mengembangkan dirinya.
4. Care :
Sangat perhatian terhadap segala hal walaupun hal-hal yang bersifat kecil.
5. Creative :
Selalu mencari terobosan pada hal-hal yg baru.
6. Challenge :
Hambatan adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi untuk dipecahkan.
7. Calculation:
Setiap tindakan dan keputusan harus dipertimbangankan secara objektif, dan faktual serta terukur.
8. Communication :
Selalu menjalin komunikasi dan memperbanyak jaringan kerjanya ( net working).
9. Competiveness :
Senang berkompetisi sebagai dasar untuk ingin menjadi yang terbaik. Demikian juga sebagai dasar untuk selalu berinteropeksi, mencari kelemahan dan kekurangannya dan segera dicari jalan keluarnya.
10. Change :
Tidak takut terhadap perubahan, bahkan memiliki perasaan senang terhadap perubahan (spirit of change). Sadar dunia ini tidak abadi, segala sesuatunya akan berubah dan mengalir .

Dalam tulisan yang sama, Aliyah Rasyid menyuguhkan bahwa prinsip utama etos kerja yang dapat dikembangkan oleh personalia pendidikan, antara lain adalah; 1. Sifat loyalitas dan etos melayani pada dunia pendidikan, 2. Mengerti orang lain dahulu sebelum ingin dimengerti, 3. Bahagiakanlah orang lain terlebih dahulu; kelak anda akan menerima kebahagiaan melebihi apa yang anda harapkan, 4. Menghargai orang lain sebagaimana diri anda ingin dihargai orang .
3. Tujuan Etos Kerja
Etos kerja adalah landasan untuk meningkatkan prestasi kerja atau kinerja. Apabila landasan itu dibudayakan oleh manusia, maka secara eksplisit kita akan memiliki suatu budaya sikap kerja yang berorientasi kepada hasil, dengan sebuah keyakinan bahwa akan ada peningkatan terhadap hasil dan sesuai dengan tujuan yang telah dicanangkan. Pengerucutan dari sifat etos kerja adalah terciptanya budaya kerja yang merupakan sikap hidup yang berfungsi sebagai pendorong terciptanya manusia-manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki kesetiakawanan, kerja keras, kraetif, produktif, berdisiplin, berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Secara umum, tujuan dari etos kerja dapat di sebutkan sebagai berikut; 1. sebagai penjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, 2. membuka komunikasi atau koneksi antar sesama personalia, 3. meningkatkan kesadaran dan penyesuain diri, 4. meningkatkan kualitas, efisiensi dan efektifitas kerja, sehingga meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam bekerja.

C. Aplikasi Etos Kerja Dalam Kinerja Personalia Pendidikan

Dalam konteks kekinian, masyarakat Indonesia dalam memandang masalah etos kerja acap kali terjebak ke dalam sebuah wacana keprihatinan terhadap nasib sumber daya manusia yang dimiliki. Selama ini masyarakat indonesia seakan kurang maksimal memahami dan memegang etos kerja dengan baik, apalagi jika melihat ketimpangan nasib bangsa ini dibandingkan dengan negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Hongkong. China, Singapura dan lain sebagainya .
Indonesia sebagai sebuah negara, pada dasarnya telah mempunyai filsafat dan pandangan hidup, sebagai sebuah negara yang multikultur dan multi agama. Di dunia pendidikan pada umumnya, keprihatinan atas kualitas kerja yang dilaksanakan oleh para personalia pendidikan di negeri ini, sudah menjadi masalah yang selalu dikeluhkan oleh mayoritas insan pendidikan.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa harapan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa dan negara adalah salah satu tugas yang harus di emban oleh lembaga pendidikan, karena bagaimanapun nasib bangsa ke depan, tergantung pada generasi sekarang yang sedang menjalani proses pendidikan. Sekali lagi, kalau kita berbicara masalah pendidikan, kita tidak mungkin melepaskan diri dari faktor personalia pendidikan, karena kualitas pendidikan adalah tanggung jawab dari personalia pendidikan itu sendiri, berhasil atau tidaknya bidang pendidikan pada masa depan tergantung dari good will dan etos kerja yang dimiliki oleh personalia pendidikan pada masa sekarang sekarang.
Dalam dunia pendidikan, produktivitas dari kinerja personalia pendidikan bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga sangat penting untuk diperhatikan. Personalia pendidikan sebagai sekelompok individu yang bekerja sama dalam menjalankan roda kependidikan, sudah selayaknya mempunyai etos kerja yang tinggi, untuk membangun dan memajukan pendidikan sebagai sarana pembentukan harkat, martabat dan pembentuk peradaban bangsa di masa yang akan datang .
Setidaknya terdapat 2 teori yang dapat digunakan dalam memahami aplikasi etos kerja dalam kinerja personalia pendidikan
1. Model Vromiann
Vromian mengemukakan bahwa kinerja sebagai perwujudan dari etos kerja personalia pendidikan merupakan perkalian antara kemampuan dan motivasi. Hubungan perkalian tersebut mengandung arti bahwa jika etos kerja seorang personalia pendidikan rendah dalam satu komponen, maka prestasi kerjanya akan rendah pula. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, jika etos kerja rendah pada personalia pendidikan, merupakan akumulasi dari dari hasil motivasi dan kemampuan yang rendah dari tenaga personalia tersebut.
2. Model Ander dan Butzin
Ander dan Butzin mengemukakan bahwa etos kerja dapat dilahirkan dari hasil interaksi antara kemampuan dan motivasi yang dimiliki personalia pendidikan, dengan kesimpulan bahwa keduanya harus seimbang, dan jika salah satu diantara du afaktor tersebut rendah, maka akan mempengaruhi kinerja dari tenaga personalia pendidikan .
Dari kedua teori etos kerja diatas, setidaknya dapat dianalisa bahwa keburaman perjalanan dunia pendidikan pada saat ini, boleh jadi disebabkan oleh rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh personalia pendidikan yang dimiliki oleh negara ini. kinerja personalia pendidikan yang kurang maksimal seperti dirasakan sekarang ini, boleh jadi karena dua variabel diatas yang belum terpenuhi dalam membentuk etos kerja yang maksimal. Pertama, bukan tidak mungkin ability atau kemampuan yang dimiliki oleh personalia pendidikan selama ini kurang mencukupi, sehingga dalam menjalankan kerjanya terkesan setengah hati dan asal-asalan. Kedua, rendahnya motivasi yang dimiliki oleh personalia pendidikan, ikut melanggengkan kecarut-marutan persoalan pendidikan yang selama ini membelenggu dunia pendidikan, dengan kata lain bahwa sumber daya manusia yang dimiliki oleh dunia pendidikan di Indonesia, terkesan masih jauh dari standart minimal yang ada.

D. Uapaya Peningkatan Etos Kerja Dan Kinerja Personalia Pendidikan

Menyikapi probelatika etos kerja dan kinerja personalia pendidikan di atas, setidaknya ada usaha-usaha yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas etos kerja dan kinerja personalia pendidikan, antara lain;
1. Pembinaan Disiplin Personalia Pendidikan
Pemegang kebijakan pendidikan harus selalu memupuk dan mampu menumbuhkan disiplin personalia pendidikan, terutama disiplin diri (self discipline). Tindakan-tindakan tersebut dapat dikembangan dengan cara-cara sebagai berikut; a) Membantu personalia pendidikan mengembangkan pola perilakunya, b) Membantu personalia pendidikan meningkatkan standart perilakunya, dan c) menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas kerja.
2. Pemberian motivasi
Setiap personalia pendidikan memiliki karakteristik khusus, yang satu sama lain boleh jadi berbeda, hal tersebut memerlukan perhatian yang khusus dari pemegang kebijakan pendidikan, agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk meningkatkan kinerjanya. Dalam hal ini pemberian motivasi perlu dilakukan, sebagai pendorong untuk meningkatkan keefektifan kinerja personalia pendidikan.
3. Penghargaan (reward)
Penghargaan sangat penting dalam upaya penumbuhan etos kerja dan peningkatan kinerja personalia pendidikan. Melalui penghargaan ini personalia pendidikan dirangsang untuk meningkatkan kinerja yang positif dan produktif, penghargaan seperti ini bisanya sangat erat kaitannya dengan prestasi yang dicapai oleh personalia pendidikan dalam menjalankan tugasnya.
4. Persepsi
Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindera. Persepsi yang baik yang baik yang dimiliki oleh personalia pendidikan akan menumbuhkan iklim kerja yang kondusif serta akan sekaligus meningkatkan kualitas produktivitas kerja .
E. Melacak Efektifitas Etos Kerja Melalui Indikator Kerja
1. Kehadiran
Salah satu faktor yang dapat dijadikan indaktor dalam menilai etos kerja yang dimiliki oleh personalia pendidikan adalah dengan melihat dan mempertimbangkan faktor kehadiran dalam melaksanakan tugas. Seorang personalia pendidikan yang terlihat rajin dan selalu ada pada setiap jam kerja efektif, secara tidak langsung menunjukkan bahwa dia memiliki komitmen, motifasi dan etos kerja yang tinggi dalam menjalankan tugsanya.
Memang faktor kehadiran dalam melihat efektivitas etos kerja yang dimiliki personalia pendidikan bukanlah tolok ukur satu-satunya yang dapat menentukan tinggi atau rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh personalia pendidikan, namun setidaknya dengan melihat faktor kehadiran yang ada pada presensi, dapat dikatakan bahwa personalia yang selalu hadir saat jam efektif di temapt kerja setidaknya memberikan gambaran bahwa dia memili semangat dan etos yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
2. Produktifitas Kerja
Produktifitas kerja menjadi indikator kedua dalam melihat etos kerja yang dimiliki oleh personalia pendidikan. Produktifitas yang dimaksud adalah bagaimana dalam melaksanakan tugasnya, personalia pendidikan dapat menyelesaikan berapa tanggung jawab yang diberikan kepadanya dengan tepat waktu, efeisien dan efektif (tanpa ada kesalahan yang fatal dalam mengerjakan perkerjaannya).
Personalia pendidikan yang memiliki tanggung jawab dan etos kerja yang tinggi dalam melaksanakan tuganya akan selalu menghasilkan produk-produk yang minimal sesuai dengan target atau tenggang waktu yang diberikan dalam menyelesaikan pekerjaannya tersebut, karena personalia yang memiliki etos kerja tinggi dalam kaitannya dengan produktifitas kerja akan selalu enjoy dan merasa tidak ada belenggu waktu dalam melaksanakan semua perkerjaannya.
Personalia pendidikan seperti di atas bukan tidak mungkin dalam melaksanakan tugasnya tanpa melihat waktu atau jam kerja efektif, yang membatasi dia mengerjakan tugasnya, bagi personalia yang memiliki etos kerja tinggi dia akan mengerjakan dan meyelesaikan tugasnya minimal pada deadline waktu yang telah diberikan, atau bahkan dalam hitungan waktu dimana dia harus mengerjakan satu pekerjaan, dia dapat mengerjakan lebih dari itu. Hal ini memang jarang kita temui di semua personalia pendidikan, namun kesadaran akan tanggtung jawab personalia pendidikan dalam upaya penigkatan produktifitas harus selalu dipupuk oleh top leader yang notabene sebagai motivator dalam menjalankan semua pekerjaan yang yang diamanahkan kepada personalia pendidikan.
3. Kualitas Pekerjaan
Dua variabel di atas (Kehadiran dan Produktifitas) bukanlah semata-mata patokan utama bagi seorang personalia yang memiliki etos kerja yang tinggi. Semua faktor itu tidaka akan berguna kalau dilihat dari indikator ketiga ini yaitu kualitas dalam mengerjakan pekerjaan. Kualitas pekerjaan adalah indikator yang menunjukkan apakah personalia pendidikan memang mempunyai etos kerja yang tercermin dalam sikap profesionalitas.
Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi tidak akan berpatokan hanya pada kehadiran dan produktifitas saja, karna semua itu tidak akan berguna kalau hasil pekerjaannya semerawut dan tidak berbobot. Kualits pekerjaan seorang personalia pendidikan adalah pertimbangan yang sangat perlu untuk di perhatikan, hal ini menyangkut pandangan apakah dia seorang yang profesional atau tidak.
Kualitas pekerjaan akan berimplikasi logis pada penilaian hasil kerja dan standart keilmiahan dan keilmuan seorang personalia pendidikan, karena percuma kalau seorang personalia pendidikan produktif dan rajin kalau ternyata hasil pekerjaannya tidak memuaskan atau bahkan dalam mengerjakan semua pekerjaan terkesan asal-asalan apalagi keliru (sama sekali tidak ada kualitasnya). Hal ini disadari atau tidak akan berpengaruh terhadap kinerja semua lembaga pendidikan dan tidak mungkin akan menghancurkan karier dari seorang personalia pendidikan tersebut.
Dengan melihat tiga indikator di atas, setidaknya dapat tergambar bahwa seorang personalia pendidikan yang memiliki etos kerja tinggi akan berusaha dengan kemauan yang tinggi untuk eksis dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dia selama ini. Hubungan antara kehadiran-produktifitas-dan kualitas pekerjaan yang menjadi indikator etos kerja tersebut bukanlah sesuatu yang atomistik (terpisah dan tidak ada relevansi), melainkan ketiga indikator tersbut harus membentuk jaring laba-laba yang ber-integrasi antara yang satu dengan yang lain.
Hubungan kontinuitas antara ketiga indikator tersebut, adalah cara sistematis seorang personalia pendidikan dalam menjalanka tugas dan tanggung jawabnya.

F. Kesimpulan

Setelah panjang lebar diterangkan tentang tela’ah filosofis tentang etos kerja, prinsip-prinsip etos kerja, dan tujuan etos kerja serta aplikiasi etos kerja dalam kinerja personalia pendidikan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya masalah etos kerja telah massif dibicarakan sebagai hal yang penting dalam peningkatan kualitas kerja manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Melihat teori-teori dan prinsip-prinsip dasar yang dipunyai oleh etos kerja, dapat dipahami bahwa, etos kerja bukanlah sesuatu yang mati, namun etos kerja yang dimiliki oleh personal dapat ditumbuhkan dan dikembangkan. Pengembangan etos kerja dapat dilakukan dengan membenahi interior etos kerja itu senidiri, atau dengan memanfaatkan eksterior yang melingkupi etos kerja, sebagai sarana atau rangsangan yang dapat meningkatkan kualitas etos kerja dan kinerja seseorang
Dalam konteks pendidikan, etos kerja dapat dipahami sebagai sebuah sikap dan cara pandang personalia pendidikan sebagai perpaduan antara kemampuan dan motivasi yang dimiliki oleh personalia pendidikan sebagai alat peningkatan kualitas kerja yang dijalankan. Oleh karena itu, maksimal atau tidaknya etos kerja yang dimiliki oleh personalia pendidikan tergantung pada diri personalia pendidikan itu sendiri. Selain itu, para pemegang kebijakan pendidikan juga harus lebih giat memotivasi kinerja para personalia pendidikan, demi terciptanya tata kerja yang maksimal dan efektif sebagai sebuah tujuan bersama untuk meningkatkan pelayanan terhadap dunia pendidikan.
Dari upaya bersama yang dilakukan untuk membenahi etos kerja dan kinerja personalia pendidikan, diharapkan menghasilkan personalia pendidikan yang cerdas, semangat, kreatif dan tahan banting mengahadapi arus perubahan zaman yang tidak mungkin kita hindari. Dengan kata lain, arus industrial yang dibawa oleh globalisasi melalui peningkatan teknologi informasi dapat diimbangi oleh para personalia pendidikan, dengan peningkatan ability serta kualitas skill yang dimiliki untuk memanajemen semua media pendidikan yang nantinya akan dikembangkan.
Tentu dalam melihat etos kerja yang dimiliki oleh seorang personalia pendidikan membutuhkan sesuatu yang rigit dan tampak dipermukaan, faktor kahadiran, produktifitas, dan kualitas pekerjaan dapat kikedepankan untuk meihat secara lebih jelas, apakah seorang personalia pendidikan mempunyai etos kerja yang baik atau sebaliknya.

PENDIDIKAN NASIONAL SEBAGAI PEYANGGA EKONOMI NASIONAL

Oleh ; M. Yusron, M.S.I

A. Pendahuluan
Seorang orang tua berkata kepada anaknya "nak, kalau nanti sudah besar, kamu pingin jadi apa?" kemudian anak itu menjawab "ingin jadi dokter atau pilot, guru", bahkan ada yang lebih heboh lagi akan menjawab ingin menjadi presiden. Namun, jarang sekali diantara mereka yang dapat menjawab "saya ingin jadi menteri ekonomi". Fenomena seperti ini banyak kita temukan di berbagai lapisan masyarakat di Indonesia, karena rata-rata dengan bersekolah, mereka berharap cita-cita mereka sebagai dokter, pilot, guru atapun presiden dapat terwujud. Lalu sispakah yang akan menjadi menteri ekonomi?
Begtitu indah apa yang dicita-citakan oleh generasi penerus bangsa ini, walaupun disisi lain kemungkinan mewujudkan cita-cita tersebut akan menghadapi rintangan yang cukup berarti. Kita tahu, sekarang kita tidak hidup di zaman "kolobendu", kita hidup di masa global, dengan berbagai perubahan yang menyertainya, dan salah satu cirri yang dapat dilihat adalah pertumbuhan ekonomi yang pada dewasa ini semakin pesat.
Dalam prinsip pendidikan, kita mengenal bahwa segala sesuatu yang bersangkutan tentang pendidikan harus mengacu pada ke-update-an, artinya bahwa segala yang dipelajari seroang anak didik dalam pendidikan harus selalu berkembang sesuai dengan perubahan (antisipatoris), hal ini demi terbentuknya manusia-manusia berpendidikan yang tidak monoton dan konservatif, apalagi dengan melihat era globalisasi saat ini, kita tidak mungkin menghindar dari perubahan, baik itu teknologi ataupun pertumbuhan ekonomi dunia, kita tidak boleh tertinggal dalam menghadapi persaingan global, kita harus terus berevolusi, sehingga cita-cita pada masa kecil yang sangat didambakan oleh seseorang akan dapat terwujud.
Dalam menyikapi semua itu, bukanlah segampang membalikkan telapak tangan, dari sekarang kita harus mencari format yang tepat dalam dunia pendidikan, kita harus merancang dan memformulakan kembali tujuan dan perangkat serta teknologi pendidikan, hal ini demi penigkatan sumber daya manusia yang lebih baik, qualifief dan marketable dalam menghadapi percaturan global.
B. Makna Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan . Menurut Prof. Richey dalam buku ""Planning For Teaching an Introduction to Education" dinyatakan bahwa istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perabikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas dari pada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja, pendidikan adalah aktivitas social yang essensial yang memungkinkan masyarakat kompleks, modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah .
Pengertian lain diberikan oleh John S. Brubacher yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pengembangan potensi kemampuan dan kapasitas manusia yang sudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media yang disusun sedemikian rupa sehingga pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan) .
Undang-undang No. 20 / 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional mencantumkan pengertian bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dab terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara .

Berbagai pemaparan tentang makna pendidikan di atas, seakan membuka lagi cakrawala berfikir kita, bahwa pendidikan yang selama ini identik dengan proses pembelajaran di sekolah ternyata perlu direkontruksi kembali dengan sebuah pemaknaan yang baru. Pola pendidikan formal yang selama ini kita kenal agaknya harus kita telaah kembali, apakah esensi dari makna pendidikan sudah terderivasikan dalam proses pendidikan atau belum, kita harus mencoba berfikir apakah pendidikan nasional kita selama ini relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah ada, dan berangkat dari pengetahuan tersebut, apakah pendidikan kita juga sudah mampu membekali para anak didiknya untuk mengarungi kehidupan pada masa selanjutnya.
C. Tujuan Pendidikan Nasional
Sebelum kita menelaah jauh tentang sistem pendidikan nasional sebagai penyangga ekonomi nasional, selayaknya kita tahu apakah yang sebenarnya diinginkan oleh pendidikan nasional, yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional
Dalam perkembangan sejarahnya, tujuan pendidikan Nasional telah banyak mengalami berbagai perubahan, hal ini dilakukan sesuai dengan situasi, kondisi serta politik kebijakan pemerintah yang diselaraskan dengan kebutuhan mendasar dari tantangan perubahan . Adapun dasar dari tujuan pendidikan Nasional tercatum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat 3 dan 5 yang berbunyi:
Ayat 3
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan katekwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang"

Ayat 5
"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan manusia"

Tujuan pendidikan terakhir yang diusung oleh pemerintah adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Undang-Undang tersebut dicamtumkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah :
"Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangya potensi peserta didik agar supaya manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" .

Menegok berbagai rumusan penting dalam pendidikan nasional tersebut, sedikit sekali yang menyinggung bahwa pendidikan nasional itu mempersiapkan bangsa ini untuk tanggap terhadap perubahan arus global, baik itu perkembangan teknologi dan informasi maupun pertumbuhan ekonomi global. Sektor ekonomi seolah di anak tirikan oleh pendidikan, ekonomi seolah terpisah dan berdiri sendiri sebagai pemenuhan kebutuhan hidup yang lain, bidang ekonomi dianggap hanyalah milik pemerintah dan orang-orang tertentu yang berkonsentrasi dalam bidang ekonomi tersebut, makanya wajar ketika kebanyakan dari manusia indonesia jarang sekali yang ingin menjadi menteri ekonomi.
Kita seakan lupa, betapa urgenya posisi bidang ekonomi terhadap perkembangan dan kemajuan pendidikan, kita seolah terlena bahwa pendidikan hanya kita anggap sebagai pentranferan ilmu pengetahuan, bukan sebagai pemberdayaan manusia yang tanggap terhadap perubahan, kita juga jarang memperhatikan bahwa pendidikan pada dewasa ini merupakan sebuah komoditas. Lalu siapa yang disalahkan? Pemerintah sebagai perumus dan penyeleggara pendidikan, atau sumber daya manusianya yang acuh tak acuh terhadap perubahan, bukankah seharusnya pendidikan dapat mengangkat derajat manusia dalam berbagai bidang termasuk juga ekonomi? Untuk lebih jauh, marilah kita merefleksikan kembali posisi pendidikan nasional sebagai alat dan lembaga yang menyiapkan manusia-manusia yang sanggup menyangga ekonomi nasional.
D. Pendidikan Nasional Dalam Percaturan Negara dan Ekonomi Global.
Seperti kita ketahui bersama, proses globalisasi disemua lini kehidupan manusia tidak akan pernah satupun kekuatan yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu pada akhirnya batas-batas negara secara geografis menjadi tidak penting, dan bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi dilihit dar keluar masuknya suatu informasi, pengetahuan dan teknologi yang mampu mempengaruhi kehidupan global manusia secara individu maupun kelompok. Pada akhirnya, konsep negara bangsa menjadi menjadi tidak penting lagi, karena secara empirik suatu bangsa tidak akan mampu mengisolasi negara dan pemerintahannya dar pengaruh-pengaruh kehidupan global.
Proses pendidikan merupakan usaha sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika menusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budayanya. Sejak zaman batu sampai zaman modern, proses pendidikan manusia tetap berjalan, meskipun tidak harus terjadi dalam bentuk formal di jenjang persekolahan, karena proses pendidikan harus berjalan sampai kapanpun.
Kita sebagai bangsa indonesia memiliki sebuah sitem pendidikan nasional, persolannya sekarang adalah apakah sistem pendidikan nasional yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi ditengah-tengah bangsa lain. Data yang terhimpun menyebutkan bahwa tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global dunia. Dan dilihat dari pendidikannnya, angkatan kerja kita sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar angkatan kerja (53%) tidaklah berpendidikan . Mau tidak mau kita harus akui bahwa kualitas sumber daya manusia kita masih rendah, sekali lagi disini bidang pendidikan menjadi tumpuan pengembangan SDM tersebut dalam menghadapi percaturan global.
Demi memenuhi tuntutan percaturan perekonomian dan persaingan global yang ada, pendidikan nasional pada dewasa ini sudah seharusnya tanggap terhadap persoalan-persoalan di atas, pendidikan nasional perlu melihat kondisi atau kualitas bangsa ini dari berbagai parameter penting dalam kehidupan. Mengapa demikian? karena pada saat ini kondisi pendidikan nasional kita dalam keadaan yang memprihatinkan, jika dilihat dari kualitas dan tantangan ekonomi dan persaingan global yang akan dihadapinya. Hasil survei yang dilakukan oleh The Jakarta Post terbitan 3 September 2001 telah mempublikasikan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) seperti tergambar sebagai berikut :
Peringkat Kualitas Pendidkan
Peringkat Negara Nilai
1. Korea Selatan 3,09
2. Singapore 3,19
3. Jepang 3,50
4. Taiwan 3,96
5. India 4,24
6. Cina 4,27
7. Malaysia 4,41
8. Hongkong 4,72
9. Philipina 5,46
10. Thailand 5,96
11. Vietnam 6,21
12. Indonesia 6,56

keterangan : skor tinggi (10) menunjukkan nilai yang rendah terhadap sistem pendidikan, dan skor yang rendah (0) menunjukkan nilai yang baik terhadap sistem pendidikan .

Contoh kasus lain yang ditemukan adalah banyak diantara para pelajar dari Indonesia dalam memilih pendidikan yang lebih bermutu, rata-rata mereka ber-ekspansi ke negara-negara industrial, hingga banyak diantara mereka menganggap dirinya adalah kaum elite yang dapat mendapatkan pencerahan dari negara barat, karena mereka mengaggap negara barat memiliki warisan peradaban yang paling unggul di dunia.
Kenyataan di atas berbeda terbalik dengan adanya pelajar pendatang dari negara-negara yang telah maju yang ber-ekspansi ke negara-negara berkembang. Bukan tidak mungkin bahwa diantara mereka yang datang ke kawasan asia (Indonesia) adalah para pelajar yang nota bene mempunyai basic pengetahuan yang lemah di negara asalnya, tetapi ketika mereka ada di sini, mereka seolah menjelma menjadi pelajar yang yahut di kelasnya. Hal ini disebabkan karena mutu pendidikan yang berbeda antara sistem pendidikan yang dikembangkan di negara-negara barat dibandingkan dengan sistem pendidikan Indonesia. Bandingkan dengan melihat tabel dibawah ini.
100 World Calss University (The Times 2005)

01. RMIT University (Australia)
02. Wina University (Austria)
03. Frankrut University (Jerman)
04. Hiroshima University (Jepang)
05. Amsterdam University (Belanda)
06. National University Of Singapore (Singapura)
07. University Of Lomonozov Moscow (Rusia)
08. New York University (USA)
09. Gadjah Mada University (Indonesia)

Walaupun kita kadang tersudutkan, setidaknya dari data di atas, kita dapat melihat bagaimana cara pandang orang-orang barat terhadap mutu dari pendidikan nasional kita. Ternyata selama ini mutu pendidikan nasional kita dianggap sepele, karena kurang dapat bersaing dengan sistem dan mutu pendidikan dari negara-negara maju.
Dengan berbagai keberhasilan dan perkembangan yang telah dicapai oleh negara maju, implikasi paling logis yang ada di wacana pendidikan nasional pada saat ini adalah adanya kegelisahan umum yang terjadi dalam dunia pendidikan. Apabila dikaji dari sudut pandang politik ekonomi, sebenarnya telah terjadi pergeseran makna dan hakekat pendidikan itu sendiri. Asumsi dasar bahwa pendidikan adalah sebagai strategi budaya kemanusiaan untuk memanusiakan manusia pada kenyataannya telah terkoyak, dan pada hakekatnya proses pendididikan nasional selama ini telah mengingkari visi dan misi pendidikan itu sendiri, yakni sebagai sarana pentransferan ilmu pengetahuan agar manusia lebih memanusiakan manusia, serta mengangkat derajatnya dalam berbagai aspek .
Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik yang dikembangkan oleh negara-negara maju yang sejatinya di adobsi oleh pengambil kebijakan dalam pendidikan nasional telah membuat praktek pendidikan nasional justru melenggangkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial, dan secara umum kalau kita telaah dalam kacamata ekonomi dan politik, pendidikan nasional sedang mengalami dekadensi dan degradasi . Sistem pendidikan Nasional yang alih-laih mengadopsi gaya barat pada kenyataannya banyak diselewengkan, bukan sistem pendidikan barat yang kita tiru, tapi sistem ekonomi negara-negara maju yang kita pakai dalam menjalankan sistem pendidikan nasional. Maka bukanlah menjadi barang baru kalau pendidikan di Indonesia telah berjalan sendiri dengan gelar "komersialisasi, industrialisasi serta privatisasi pendidikan".
Terintegrasinya dunia pendidikan kedalam pasar bebas, adalah fenomena yang tidak sebanding atau berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat indonesia di pihak lain. Jika di negara-negara maju pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes, itu karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Jika memang disadari kemampuan negara sangat lemah dalam mensubsidi pendidikan, akankah ia lantas melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk mencerdaskan masyarakat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945? Seharusnya negara tidak tinggal diam dan berinisiatif untuk menyelesaikan persoalan pendidikan nasional .
E. Melacak Format Pendidikan Nasional Sebagai Penyangga Ekonomi Nasional
Salah satu faktor yang menyebabkan kenapa pada negara ketiga selalu gagal dalam dalam mewujudkan cita-citanya adalah kurangnya perhatian mereka pada investasi di bidang pendidikan. Kemudian ditambah lagi ke empat faktor lain yang meliputi: (1) diabaikannya mekanisme pasar; (2) lemahnya sistem kelembagaan dan hukum; (3) tidak terintegrasikannya perekonomian nasional dengan kekuatan ekonomi global; (4) kurang terpenuhinya kebutuhan dasar warganya .
Untuk membangun paradigma baru pendidikan nasional abad ke-21, agar memiliki relevansi dengan tuntutanera global, bangsa Indosesia perlu dengan sadar mengambil berbagai kebijakan reformatif secara substantif dalam bidang pendidikan. Kebijakan itu perlu memperhatikan beberapa persoalan yang sedan dan akan dihadapi oleh bangsa ini. Oleh sebab itu perlu ditempuh berbagai langkah baik dalam bidang menejemen, perencanaan, samapai pada praksis pendidikan di tingkat mikro.
Pendidikan bagi kehidupan manusia di era global seperti saat ini merupakan kebutuhan yang amat menentukan bagi masa depannya. Tanpa melaui proses pendidikan yang baik, sulit kiranya bagi seseorang untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Bahkan pendidikan tidak hanya penting bagi kehidupan individual orang per orang, akan tetapi juga amat penting bagi tata kehidupan kolektif dalam rangkan membangun fondasi yang kokoh menuju terwujudnya masyarakat yang makmur, berkembang, dan mandiri.
Oleh karena itu, di era global seperti saat ini, manakala bangsa Indonesia tidak memperdulikan pembangunan sektor pendidikan secara serius dan berkelanjutan, maka akan dapat kita prediksi nasib bangsa Indonesia di masa yang akan datang yaitu pada jangka waktu yang panjang justru akan menjebak bangsa Indonesia sendiri memasuki dunia keterbelakangan dan kejumudan dalam banyak aspek kehidupan. Komitmen pemerintah Indonesia, sejak Orde Lama, Orde Baru, dan juga Era Reformasi, dalam membangun sektor pendidikan memiliki tanda-tanda yang amat jelas ke arah itu.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, kita memerlukan pembaharuan dalam bidang pendidikan nasional, pembaharuan dalam bidang pendidikan memerlukan keberanian untuk mencari metode dan membangun paradigma baru. Hal ini menjadi penting dikarenakan, masa depan di era global ini harus dihadapi dengan cara dan metode yang lain dari sebelumnya. Kita memerlukan inovasi baru dalam dunia pendidikan, yaitu dengan membentuk sistem pedidikan nasional yang memperhatikan terhadap keunggulan kompetitif dalam berbagai bidang. Karena dalam percaturan era global, hanya manusia yang memiliki keunggulan kompetitiflah yang dapat mengangkat harkat dan martabatnya, karena bukan zamannya lagi bangsa Indonesia hanya mengandalkan murahnya tenaga kerja yang ditawarkan kepada negara-negara lain.
Namun yang lebih jauh dari itu, adalah kita harus sesegera mungkin meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional kepada fondasi awalnya, pendidikan nasional harus kita posisikan sebagai wahana, pendidikan nasional harus kita tempatkan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat pengasah otak, alat meningkatkan pemekerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai agama, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat mengusai teknologi, alat penguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial, alat pembebasan dan lain sebagainya. Hal ini perlu sebagai balance terhadap pertumbuhan ekonomi yang semakin mengarah pada pembetukan manusia sebagai mesin-mesin pekerja, agar kita memilki karakter yang khas yakni bangsa Indonesia yang masih menjunjung nilai-nilai luhur yang berharti nurani .
F. Penutup
Pendidikan nasional dan ekonomi nasional adalah dua sisi mata uang yang sangat dekat, namun jarang sekali kita bisa menyatukan dua wajah tersebut dalam satu kearangka sitem yang utuh dan komprehensif. Bukankah dengan pendidikan selain dapat mencetak manusia yang memanusiakan manusia, disana juga terdapat pembentukan dan pentranferan serta pelatihan terhadap skil dan kompetensi tertentu yang bila dikembangan akan menjadi modal besar dalam mensejahterkan kehidupan bangsa.
Dengan sistem pendidikan nasional yang baik dan terarah, diharapakan kita dapat bersaing dengan out put yang dihasilkan oleh negara-negara yang sudah mapan dalam bidang ekonominya. Dengan pendidikan nasional yang revolutif kita diharapkan tidak lagi menjadi pekerja di negeri kita sendiri, dan dengan pendidikan yang memadai diharapkan kita menjadi seorang pemimpin yang siap dan tanggih dalam memimpin bangsa ini menuju taraf kehidupan yang lebih memadadai.
Sebenarnya itulah cita-cita luhur dari tujuan pendidikan nasional Indonesia, yaitu terwujudnya tatanan masyakat yang kompetitif, bertanggung jawab, sejahtera, dan dapat menjaga moralitas sebagai pelestarian budaya serta penigkatan kualitas ketakwaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Quo Vadis Pendidikan Islam; Tela'ah Pendidikan Islam Yang Menghidupkan

Oleh : M. Yusron, .M.S.I


A. Pendahuluan

Persoalan yang paling tidak masuk akal dalam Pendidikan Islam adalah bagaimana Pendidikan Islam seolah tidak mampu mendifinisikan dengan jelas apa yang di maksud Pendidikan Islam itu sendiri . Belum lagi matang di tingkatan epistimologi keilmuan Islam, Pendidikan Islam di penjuru dunia, bahkan di Indonesia sudah harus mengahadapi berbagai persoalan eksternal yang muncul dari dunia global.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, secara konsep maupun secara kelembagaan, Pendidikan Islam harus bertarung ketat memperjuangkan jenis kelamin-nya antara mempertahankan struktur keilmuan Pendidikan Islam dengan gerakan kamuflase untuk merespon struktur keilmuan dan kepentingan global. Hal ini tergambar jelas dalam model pendidikan Islam di Indonesia, seperti di pesantren dan masrasah yang ada di Indonesia.
Pendidikan Islam yang seperti ini seharusnya dapat di dekonstruksi dan rekonstruksi, hal ini dilakukan sebagai upaya meletakkan Pendidikan Islam pada kedudukan yang setingkat lebih baik dari hanya sekedar objek comoohan “la yamutu wa la yahya”/ madarsah tidak bermutu tapi banyak biaya.

B. Wacana Rekonstruksi dan Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Secara kelembagaan, Pendidikan Islam (Madrasah) di Indonesia telah lama tumbuh dan mengakar kuat di bumi Nusantara ini, Karel A Steenbrink dalam penelitiannya yang menelusuri pertumbuhan marasah di Indonesia menyimpulkan bahwa, kemunculan madrasah adalah respon pesantren akibat adanya lembaga pendidikan modern secara berjenjang yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda . Namun demikian sejarah panjang yang ditempuh oleh Pendidikan Islam di Indonesia tidak serta merta menempatkan Posisi Pendidikan Islam mapan, dan mampu bersaing dengan pendidikan di luar Islam .
Disisi lain, wacana bahwa kehidupan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikanya, dan maju-nya pendidikan di sebuah bangsa akan memicu kemajuan di bidang saint dan tekhnologi , semakin memojokkan Pendidikan Islam di titik nadir terendah. Karena pada keadaan yang seperti ini Pendidikan Islam tidak lagi menjadi menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat untuk memperbaiki tingkat pendidikan para penerusnya.
Tuntutan bahwa tipologi Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang secara keilmuan dan kelembagaan mampu mengembangkan potensi intelektual, spiritual, sosial, keterampilan, dan karakter dari para peserta didik, mau tidak mau harus direspon oleh Pendidikan Islam. Selain tujuan pendidikan di atas, Pendidikan Islam juga merespon wacana hukum pasar, yang menghendaki para Sumber Daya Manusia yang marketable yang mempunyai kualiats dan profesionalitas mumpuni, sehingga Pendidikan Islam akan mampu menetapkan kebijakan supply and demand demi kemajuan di masa depan.
Demi merespon berbagai tantangan di atas, Pendidikan Islam di Indonesia seharusnya mampu merubah diri. Dalam terminogi ini setidaknya ada 2 langkah pendekatan yang bisa di gunakan oleh lembaga Pendidikan Islam agar lebih bernilai sebagai rohmatan lil alamin;

1. Integrasi Keilmuan
Dalam sejarah Islam, trauma tentang dikotomi ilmu pengetahuan sampai saat ini masih menjadi sindrom yang mengakar akut. Dalam pendekatan Integratif, paradigma pemisahan ilmu tersebut harus di buang jauh dari Pendidikan Islam. Dalam artian bahwa Pendidikan Islam di tuntut untuk menyelesaikan 2 masalah sekaligus, baik secara agama maupun secara umum, pendidikan Islam harus ditempatkan menjadi pioner dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh ummat secara keseluruhan .
Secara konseptual, Pendidikan Islam harus bertolak pada pandangan bahwa pertama; kerangka keilmuan pada essensinya terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri, kedua; Islam tidak mengenal dikotomi Ilmu antara ilmu agama dan umum, ketiga; ilmu itu diciptakan oleh manusia, hanya saja sejak penciptaan, perkembangan, dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Allah .
Dalam konteks yang lebih operasional, pendidikan Islam yang berbasis pada pemecahan masalah (Education Based Problem Solving), harus di letakkan di berbagai sendi dari Pendidikan Islam, dengan demikian perlu adanya rekonstruksi di acuan Pendidikan Islam atau kurikulum .

2. Reformasi Pengelolaan Kelembagaan
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah pada hakikatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara demokratis. Meskipun dalam pengembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan peroangan, kehidupan madrasah tetap ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya.
Ketika banyak pihak berbicara tentang otonomi pendidikan, strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based manajemen), madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenal hal tersebut. Inilah kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya CBM akan bermuara pada sistem madrasah (school based management) yakni pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonom.
Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen Lembaga Pendidikan Islam; kepala madrasah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan madrasah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan Pendidikan Islam yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan Lembaga Pendidikan Islam untuk melakukan upaya-upya mereformasi diri. Pertama, Lembaga Pendidikan Islam harus mengakomodasi berbagai masukan dan kritik dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kapada masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Lembaga Pendidikan Islam.
Kedua, Lembaga Pendidikan Islam hendaknya menajdi lembaga inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi keilmuan di lembaga pendidikan ini. Lembaga Pendidikan Islam hendaknya menerima integrasi ilmu-ilmu umum dengan terbuka, serta memebrikan kebebasan kepada para siswa untuk mendalami pengetahuan dan tekhnologi sesuai dengan dengan pilihan minatnya.
Ketiga, Lembaga Pendidikan Islam harus menjadi lembaga yang responsive terhadap berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang terjadi dalam dunia kerja. Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi lembaga link and mact yang meyediakan lulusan yang siap kerja dengan berbekal nilai-nilai keagamaan. Tentu untuk itu, dibutuhkan waktu, sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, paradigma efektif dan efisien dalam proses pendidikan harus di kedepankan oleh Lembaga Pendidikan Islam.

C. Kerangka Kerja Pendidikan Islam yang menghidupkan ( Sebuah Refleksi Pemikiran )

Di sadari atau pun tidak, banyaknya konsep dan wacana tentang perubahan epistimologi dan pengembangan lembaga pendidikan islam (madrasah) dalam mengahadapi tantangan globalisasi dan kebutuhan pasar (the new world) akan terasa cemplang kalau hanya sebatas pemikiran, diperlukan action yang mumpuni di tingkat lembaga pendidikan islam (madrasah) itu sendiri. Hal ini menjadi titik tekan bahwa, semua upaya merekonstruksi madrasah sebenarnya harus berawal dari madrasah itu sendiri, dengan membenrdayakan semua element yang di miliki oleh madrasah.
Kesulitan yang selama ini dirasakan dalam merekonstruksi dan mengembangkan madrasah adalah ketergantungan yang berlebihan terhadap sistem pendidikan yang di terapkan di Indoensia. Penulis melihat bahwa para pengelola madrasah seakan lupa terhadap akar sejarah dan prinsip-prinsip penting dari kemunculan madrasah . Penyakit parasit ini harus mulai di terapi sendiri (healing) oleh lembaga madrasah, karena kalau selamanya sistem di pakai sebagai roda penggerak dan pengembang madrsah maka selamanya kita akan menjumpai madrasah sebagai lembaga yang identik dengan sebutan “Pesantren Masuk Pagi”, dalam artian bahwa epistimolgi madrasah tidak lebih baik dari kurikulum pesantren, bedanya hanya madrasah selalu tertib masuk pagi jam 7 dan keluar jam 12, untuk itu perlu langkah inovatif atau mungkin liberatif yang harus di miliki oleh pengelola madrasah.
Dalam menjalankan visi ini pengelola lembaga madrasah di tuntut mempunyai visi dan pandangan yang luas tentang pendidikan Islam di masa sekarang, harus juga mempunyai pandangan yang jitu dalam menetapkan sumber daya madrasah, disertai dengan pola management yang kooperatif sekaligus komprehensif. Dari beberapa catatan yang penulis temui, setidaknya ada 4 langkah yang perlu di tempuh oleh pengelola madrasah dalam mengembangkan madrasah agar dapat hidup lebih lama, atau mungkin menjadi sedikit lebih hidup, antara lain:
Pertama; melakukan analisis SWOT terhadap wacana dan perkembangan zaman. Analisis ini mutlak diperlukan oleh semua pengelola madrasah untuk membaca wacana dan perkembangan zaman demi terwujudnya madrasah yang dapat merespon tuntutan pasar. Analisis ini diperlukan sebagai metode “semi hermeneutik” untuk kemudian mengembangkan kerangka epistimolgi keilmuan madrasah.
Semua sepakat kalau keilmuan agama yang selama ini dikembangan oleh madrasah terasa sangat penting untuk membangun karakteristis ke-Islaman yang identik dengan moralitas, namun lebih dari itu keilmuan umum (exact) juga harus dibangun dengan baik oleh madrasah. Dengan kata lebih lugas, analisis SWOT tentang wacana perkembangan zaman harus mampu merubah struktur kurikulum yang dikembangan di madrasah. Madrasah harus berani menambah atau mengganti mata pelajaran agama yang proporsinya berlebih dengan mata pelajaran umum (exact) yang diperlukan pada masa sekarang.
Konsekwensi dari semua itu adalah madrasah harus menambah jam belajar yang selama ini di pakai, dalam artian matematika kalau selama ini madrasah masuk jam 7.00 dan keluar jam 12.00, dengan beban jam mata pelajaran ilmu agama + ilmu umum harus berimbang, kemudian bandingkan dengan sekolah umum yang masuk jam 7.00 dan keluar jam 13.00, dengan jam pelajaran ilmu umum (exact) lebih banyak, maka akan dapat di hitung berapa jam madrasah mempunyai waktu untuk memberikan mata pelarajan umum (exact). Untuk itu, agar ilmu umum (exact) juga mendapat proporsi yang lebih, maka madrasah harus menambah jam belajarnya di kelas, katakanlah masuk jam 7.00 dan keluar jam 14.00 – 15.00 (full day), agar madrasah tidak tertinggal oleh sekolah umum, dan pengelola madrasah harus mampu memperhitungkan hal semacam ini.
Kedua; jika langkah pertama telah berhasil di kembangan, madrasah atau pengelola madrasah harus mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam menerapkan langkah di atas. Penulis sangat prihatin ketika menjumpai ternyata masih ada di beberapa wilayah bahwa banyak guru-guru madrasah yang mengampu mata pelajaran yang tidak sesuai dengan disiplin keilmuannya, contoh guru agama mengajarkan Bahasa Indonesia, atau mungkin di Lembaga Pendidikan Tinggi seperti IAIN atau STAIN banyak di jumpai seorang dosen Agama Islam mengampu mata kuliah Psikologi, atau Sosiologi.
Salah ajar seperti ini harus segera di “bunuh” oleh pengelola madrasah. Sedapat mungkin, atau bahkan wajib bagi pengelola madrasah untuk menyiapkan sumber daya manusianya sesuai dengan displin ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat (warga madrasah). Adanya Undang-Undang Guru dan Dosen harus benar benar di manfaatkan oleh pengelola madrasah untuk menyeleksi dan menempatkan sumber daya manusia madrasah sesuai dengan displin keilmuan masing-masing, konsekwensinya madrasah harus menambah sumber daya manusianya sesuai dengan yang butuhkan oleh kurikulum.
Tidak sebatas itu, untuk meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki oleh madrasah, pengelola madrasah juga harus menerapkan standart kedisiplinan yang tinggi untuk melihat dan mempertahankan etos kerja yang dimilki oleh madrasah, dalam artian bahwa, pengelola madrasah harus mampu melatakkan kedisiplinan sumber daya manusia yang dimiliki, karena sangat percuma kalau sumber daya manusianya terpenuhi, namun mereka tidak mempunyai semangat dan etos kerja yang baik, sama saja bohong. Pengelola madrasah harus berani menindak sumber daya madrasah kalau memang kinerja mereka tidak layak dan di bawah standart, langkah itu bisa berupa teguran atau penon-aktifan.
Ketiga; Peningkatan partisipasi stakeholder yang di miliki madrasah. Langkah ini yang kurang diperhatikan oleh madrasah dan pengelola madrasah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002 tentang Komite Sekolah/Madrasah dapat di gunakan landasan bagi madrasah untuk peningkatan stakeholder yang di miliki madrasah.
Pemeberdayaan stakeholder madrasah diperlukan untuk menambah catatan dan daya analisis madrasah tentang apa yang dibutuhkan oleh warga masyarakat. Lewat stakeholder madrasah, pengelola madrasah dapat menggali informasi lebih tentang kebutuhan madrasah, dan apa yang diperlukan untuk melestarikan madrasah. Lewat jalan ini pula madrasah dapat merangkul dan melakukan berbagai terobosan dalam meningkatkan manajerial madrasah.
Pelibatan stakeholder madrasah dapat diorientasikan pada emapt hal, yakni advisory agency, supporting agency, controlling agency, dan mediator agency. Dengan kempat pilar tersebut, madarsah harus mmpu mengarahkan pelibatan stakeholder madrasah tidak saja dalam perencanaan makro tetapi sampai pada perencanaan yang lebih operatif, seperti dalam menentukan kebijakan restrukturisasi kurikulum misalnya, sehingga pada nantinya akan menuntut stateholder mampu bekerja secara bersama, juga bertanggung jawab secara bersama.
Keempat; Managerial madrasah yang berbasis pada mutu. Sesuai dengan prinsip manajemen pengembangan mutu, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah harus di gunakan oleh madrasah dan pengelola madrasah untuk menuntut semua warga madrasah secara kolektif mempunyai kesadaran dan perubahan paradigma tentang mutu madrasah itu sendiri. Dengan pengelolaan madrasah yang berbasis pada mutu, kemandirian dalam mengembangan madrasah akan lebih berpengaruh terhadap proses pengembangan program-program madrasah yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.

D. Penutup
Pada Dasarnya Pendidikan Islam memang mengandung berbagai macam pengertian dan terminologi, yakni sebagai sebuah Lembaga Pendidikan dan sebagai sebuah Proses Intelektualisme Islam. Namun semuanya tidak mungkin terpisah di salah satu bagianya.
Proses Intelektualisme Islam sebagai ruh dari Pendidikan Islam juga harus terbebas dari term-term yang selama ini menjadi penyakit akut, yakni dikotomi antara ilmu agama dan umum. Dengan semangat seperti ini, diharapkan Pendidikan Islam mampu menjadi arus yang senantiasa mampu menjadi patron, modal, dan kekuatan bagi umat Islam untuk menjawab berbagai persoalan yang semakin kompleks.
Dan muara dari semua itu adalah kontekstualisasinya dalam Lembaga Pendidikan Islam, yakni upaya merekonstruksi semua elemen Lembaga Pendidikan Islam, baik secara fisik ataupun non fisik, untuk kepentingan bersama yaitu Lembaga Pendidikan Islam yang bermutu yang mampu menyelesaikan semua persoalan yang di hadapi oleh umat (rohmatan lil alamin)

Rekonstuksi Pemikiran Fiqh Versi Yusuf Al-Qardhawi

Oleh ; M. Yusron, M.S.I

Kegelisahan akademik dalam menulis pemikirannya tentang Ijtihad kontemporer yang dirasakan oleh Yusuf Qardhawi adalah ketika merasakan perputaran dan perkembangan yang terus-menerus dalam berbagai persoalan di dunia ini khususnya dalam bidang hukum atau (fiqh).
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta munculnya persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama-ulama terdahulu seakan dianggap sebagai sesuatu yang tidak logis. Karenanya, bagaimana mungkin akan terpikirkan hukum atas persoalan-persoalan baru tersebut, bila sedetik pun belum pernah terbetik dalam hati mereka. Hal ini mengakibatkan hukum atau fatwa yang ditetapkan oleh ulama-ularna terdahulu tidak relevan lagi lantaran berubahnya masa; tempat, adat-istiadat dan kondisi.
Qardhawi berpendapat setidaknya ada dua bidang kajian hukum yang mengalami perubahan sangat pesat, yaitu; Bidang Hubungan Keuangan Ekonomi dan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran (Medis). Pertama; dalam bidang ekonomi, Qardhawi melihat bahwa pada zaman sekarang persoalan dunia usaha (bisnis) dan perseroan baru dalam bidang ekonomi belum pernah dikenal oleh ulama-ulama dan orang-orang yang hidup pada zaman dahulu, seperti polarisasi bidang ekonomi ditandai dengan munculnya berbagai sistem kegiatan ekonomi baru seperti asosiasi saham (bursa efek), asuransi dan lain sebagainya.
Kedua dalam bidang Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran Qardhawi melihat bahwa ilmu pengetahuan moderen dengan segala hasil temuannya yang canggih dan kemajuan teknologi yang demikian pesat ditambah potensi yang dimiliki manusia terutama di bidang kedokteran berpotensi menimbulkan berbagai macam problem, hal ini menuntut para ulama hukum kontemporer menemukan alternatif pemecahan dan penyelesaiannya menurut hukum Islam.
Atas keglisahan-kegelisahan tersebut, Qardhawi memandang perlunya merespon berbagai persoalan tersebut, dengan kemudian menjadi tugas para ulama kontemporer untuk mencurahkan segala kemempuan yang dimiliki sebagai upaya rekonstruksi hukum yang sesuai dengan persoalan dan setting zaman yang dihadapi.
Qardhawi menganggap bahwa perosalan ijtidad dalam rekonstruksi hukum merupakan keharusan bagi umat islam kontemporer, untuk itu syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dahulu untuk melakukan ijtihad sebenarnya mudah untuk dicapai, hal ini di dasarkan pada asumsi dari bahwa persoalan hukum pada saat ini merupakan sebuah kebutuhan, untuk itu kalau prosesi ijtihad telah dianggap tidak ada dan penuh dengan batasan syarat-syarat, maka kehidupan ini akan selalu dilanda kejumudan dan kebinasaaan. Logika pembolehan ijtihad juga digambarkan oleh Qardhawi dengan argumen bahwa dalam logika Islam sama sekali tidak tergambar bahwa sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia, lalu sesuatu itu oleh Allah diharamkan atas diri mereka.
Ada dua macan metode ijtihad yang ditwarkan oleh Qardhawi yakni Ijtihad Intiqa'i dan Ijtihad Insya'i. Pertama; Ijtihad intiqa'i, ialah proses memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum.
Proses ijtihad Intiqa'i ini menurut Qardhawi adalah melaksanakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu, dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat tersebut; sehingga pada akhirnya kita dapat memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan "kaidah tarjih".
Qardhawi menambahkan bahwa seharusnya bagi seorang yang menekuni hukum Islam pasti rnengerti, bahwa kita ini mempunyai kekayaan pendapat yang bermacam-macam dalam berbaga.i masalah fiqih. Persoalan-persoalan fiqih yang disepakati hukumnya itu masih relatif sedikit dibandingkan dengan persoalan yang hukumnya masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Bahkan banyak di antara persoalan yang diduga,telah disepakati oleh para ulama, ternyata masih menjadi bahanperbedaan pendapat di kalangan mereka.
Seorang pakar fiqih kontemporer semestinya memilih pendapat terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Karenanya, jangan sampai dia membiarkan manusia kebingungan dalam memilih sesuatu pendapat clan menolak pendapat lainnya, yang terkadang pendapat¬pendapat itu sampai memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dimunculkan oleh akal pikiran.
Untuk mengkontekstualisasikan metode ini dalam masa kontemporer, Qardhawi menambahkan perlunya bagi ulama kontemporer memperhatikan instrumen baru yang telah muncul pada abad moderen ini. Sudah barang tentu semua instrumen tadi berpengaruh kuat dalam menyeleksi sekaligus mencari pendapat terkuat dari khazanah fiqih Islam. Adapun instrumen yang mempengaruhi, antara lain: Perubahan Sosial dan Politik Nasional serta Internasional , Pengetahuan Modern dan Ilmu-Ilmunya, dan Desakan-desakan Zaman dan Kebutuhannya.
Kedua; ijtihad kreatif (insya'i) adalah pengambil¬an konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik itu persoalan lama atau baru. Dengan kata lain, bahwa ijtihad insya'i adalah meliputi sebagian persoalan lama, yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pendapat baru dalam masalah itu yang belum didapati dari pendapat ulama-ulama salaf, dan yang demikian itu sah-sah saja, berkat karunia Allah.
Lebih jauh Qardhawi menyampaikan bahwa kita seharusnya menyeru pada ijtihad tanpa dibayangi rasa takut dan khawatir, agar ijtihad tetap berjalan dengan lurus, tidak mundur ke belakang dan tidak pula belok, ke kanan dan ke kiri. Agar proses Ijtihad tersebut benar dan sesuai prosedur yang dijlankan, Qardhawi menambahkan beberapa aturan dan ketentuan pokok untuk ijtihad kontemporer:
• Tidak ada Ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan
• Tidak ada Ijtihad dalam masalah-masalah yang qath'i
• Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath'i
• Menghubungkan antara Fiqih dan Hadis
• Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita
• Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat
• Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya
Membaca jauh pola rekonstruksi pemikiran Yusuf Al-Qordhawi melalui wacaca Ijtihad Kontemporer, seakan memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Tawaran metodologis dari rekonstruksi ijtihad al-Qardhawi seolah memberi angin segar atas penyelesaian kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern seperti kasus aborsi, penjual-belian organ tubuh mayat, dan persoalan yang menyangkut masalah sosial yang berbeda dan berada di komunitas Islam (non muslim).
Disadari ataupun tidak, fiqih sebagai produk hukum seharusnya bisa berkomukasi dengan masyarakat sosial, dan kaidah hukum ushul bahwa “suatu hukum itu harus bisa bersifat fleksibel tergantung dari masa dan tempatnya” harus benar-benar dipahami, agar pola pikir klasik masyarakat Islam demi sedikit akan terkikis, dengan tidak lupa memberikan penyadaran yang berkesinambungan terhadap perkembangan yang ada pada masa kekiniian.
Perbedaan konteks, sejarah, dan permasaahan yang muncul memberi tuntutan luar biasa bagi ulama-ulama fiqh kontemporer agar lebih bersifat distingtif antara syari’ah dan maksud atau kandungan syari’aih itu sendiri. Fiqh sebagai karya ijtihad yang selama ini tampak dengan sifat-sifatnya yang keras, kaku, rigid, dan toesentris, dan dianggap sebagai otoritas pengetahuan, harus lebih dipahami sebagai upaya untuk memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sekarang .
Dalam pandangan ijtihad baru versi al-Qardhawi ini, persoalan-persoalan hukum khusunya fiqh diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan model ijtihad ini, hukum diharapkan mampu berdialog dengan problema-probelama aktual seperti, gender, kewarganegaraan, aborsi, jual beli organ tubuh, serta masalah aktual yang lain. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rarional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental.

Fiqih Klasik Vis A Vis Fiqih Kontemporer ( Tela’ah Epistimologis Terhadap paradigma Fiqih Klasik dan Tuntutan Ijtihad Komtemporer )

Oleh : M. Ysuron, S.Pd.I

A. Pendahuluan
Dalam epistomologi keilmuan Islam klasik, Fiqih sebagi salah satu cabang keilmuan dalam Islam seakan topik bahasan yang tidak ada habisnya, topik-topik keilmuan fiqih pada zaman klasik dianggap sebagai “mahadewa” yang tiada tandingannya. Konsepsi tentang fiqih yang dianggap sebagai ”Undang-Undang Ketiga” dan yang berkuasa mengatur kehidupan umat Islam seakan menyamai popularitas dari “Teologi Kalam” yang pernah ada dan mensejarah dalam kazanah keilmuan Islam.
Fiqih klasik yang diplot menjadi produk ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat), sampai saat ini dirasa oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang sempurna, dan seakan tidak akan pernah tergoyahkan dan bahkan tidak sedikit dari berbagai kalangan tersebut melestarikan tadisi fiqih yang menjadi produk keilmuan pada pada masa Daulah Abbasiyah sekitar abad ke 2- 5 H (abad 4-7 M) yang lalu .
Memasuki pemerintahan Islam yang baru yang berpusat di Andalusia (Spanyol) pada sekitar abad IX M, dan ketika umat Islam mulai mengembangan wacana filsafat keilmuan dan filasafat sosial yang baru, fiqih klasik seakan diterpa musibah yang sangat akut, hal ini tidak terlepas dari beberapa pemikiran tokoh Islam pada masa Andalus yang berfikir bahwa fiqih klasik ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan riil yang ada di masyarakat, seiring dengan temuan-temuan baru dan perkembangan tekhnologi pada waktu itu . Dari sinilah tadisi keilmuan yang menggunakan pola fikir rasionalis empirik mulai berkembang, dan secara tidak langsung telah merekonsturksi keilmuan fiqih klasik yang dianggap tidak competable lagi terhadap persoalan-persoalan ke-ummatan.
Sebuah pertanyaan besar yang ada di masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih dapat dan bisa digunakan sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan ke-ummatan, sedangkan fiqih klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat Islam, dan dengan melihat motif, illat (sebab), dan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan masa sekarang, apakah pola fikir klasik juga tidak perlu direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner tehadap kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah Ijtihad kontemporer.

B. Pengertian dan Perkembangan Fiqh Klasik
Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) dari akar kata bentuk madhi (past tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami dan menuntut ilmu. Kata fiqh juga dianggap sinonim dengan kata ilmu. Dalam Al-Qur’an terdapat dua puluh ayat yang memakai kata ini dengan pengertian makna literal yang berbeda-beda tersebut. Namun ada satu ayat yang memiliki konotasi bahwa fiqh adalah ilmu agama yakni pada ayat QS. 9:13. Tetapi pengertian ilmu agama pada ayat ini masih sangat luas, meliputi berbagai ilmu agama secara umum. Ia bisa berarti ilmu tasawwuf atau sufisme (tariqat) sebagaimana yang dikatakan ahli sufi Farqad (wafat 131 hijriah) pada Hasan Al-Bashri (w. 110 h.). Fiqh dapat juga berarti ilmu kalam (tauhid atau teologi), dan sebagainya .
Dari sini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat). Hal ini bisa dimaklumi mengingat pada waktu itu para Sahabat Nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam. Para Sahabat Nabi dapat menikmati secara live implementasi paling pas dan utuh peri kehidupan Islami; dari cara berwudlu, shalat, puasa, haji, berinteraksi dengan tetangga, dengan sesama Muslim, sampai pada hal-hal yang bersifat bisnis dan politis .
Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabi’in, timbullah tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria. Di mana masing-masing mempunyai aktivitas legal yang independen. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.
Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Ash-Shafi’i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi’i pendiri madzhab Syafi’iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i. Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Secara garis besar, keempat madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara substantif tidaklah berbeda, yang berbeda satu sama lain hanya menyangkut hal-hal detail Berdasarkan keempat sumber hukum inilah para pakar hukum Islam atau pakar ahli fikih menetapkan keputusan-keputusan hukum yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Dari sini, muncullah ratusan bahkan ribuan kitab-buku tentang hukum Islam atau fikih sebagai antisipasi serta respon ahli fikih terhadap persoalan-persoalan hukum pada masing-masing zamannya.

C. Fikih Klasik dalam Sorotan ; Wacana Ijtihad dan Fiqih Kontemporer
Zaman terus berubah dan berkembang. Dan kini, eksistensi kitab kuning dalam sorotan. Di satu sisi, ia tetap menjadi “materi wajib” bagi umat Islam Klasik dalam menjawab berbagai macam problematika kehidupan umat Islam. Mereka (sepertinya) meyakini bahwa semua permasalahan umat masih bisa dijawab oleh khazanah-khazanah klasik itu. Di sisi lain, semenjak abad ke IX M, sekelompok pemikir Islam yang telah jenuh dengan stagnasi yang dialami oleh filsafat ilmu “Islam” yang masih menggunakan pola fikir dogmatik, mistik dan sufistik, terutama dengan produk ilmu fiqih yang diaggap tidak rasionalis dan terkesan membelenggu ummat Islam sendiri terutama dari hasil produknya dalam mengembangkan hukum Islam yang kaku dan memaksa , berusaha beralih fikir dan mengembangkan tradisi ke-ilmuan baru yang menggunkan paradigma rasional dan empirik.
Dalam masa sekarang ini, kelompok Islam modernis (kontemporer) yang dimotori oleh para pembaharu Islam seperti Yusuf Al-Qordhawi dan yang lain, memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Pendapat ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam sejarah fiqih Islam, fungsi Ijtihad ini pernah mengalami kemandekan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlaq, seperti istitusi empat Imam Mazhab yang sangat populer diatas .
Senada dengan pertimbangan di atas, banyak dari beberapa tokoh kontemporer yang menyatakan bahwa akibat dari timbulnya empat mazhab di atas, ummat Islam banyak mengalami kemunduran dan era taqlid yang begitu panjang, dan terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqh dan Qowaidul Fiqh) yang telah ditatarkan oleh para imam tersebut , disisi lain mereka menganggap bahwa persoalan keilmuan fiqih tidak hanya berhenti di situ saja, persoalan sosial yang masuk dalam kajian ilmu fiqih selalu berkembang seuai dengan kontek dan perkembangan zaman.
Kemunculan kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern dan arus globalisasi seperti sekarang yang terjadi dalam konteks ke-ummatan seperti kasus aborsi, penjual belian organ tubuh mayat, apalagi persoalan yang menyangkut masalah sosial yang berbeda dan berada di komunitas Islam (non muslim) , seakan memperjelas bahwasnaya fiqih masa klasik klasik harus dicermati ulang dan direkonstruksi kembali, karena sudah jelas bahwa produk fiqih dibuat permasalahan-permasalahan tersebut belum ada, dan secara dialektika maka fiqih klasik tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Kasus lain yang menjadi agenda dari format fiqih dan Ijtihad kontemporer adalah kasus ibadah hajji. Seperti kita tahu semua, ibadah hajji adalah ibadah yang bukan hanya melibatkan sang kholiq (Allah SWT) dengan makhluq-Nya, karena dalam prosesi ibadah hajji terdapat interaksi sosial antar ummat. Banyaknya kasus menyedihkan sekaligus mencengangkan seperti meninggalnya jama’ah hajji pada saat pelemparan jumroh aqobah karena terinjak-injak oleh sesama jama’ah hajji yang lain dan berbagai kasus yang lain dan mengakibatkan meninggalnya jama’ah hajji. Pertimbangan dari masalah ini adalah, masuk kategori apakah hukum meninggalnya jama’ah hajji yang terinjak-injak oleh sesama jama’ah yang lain dalam urusan ibadah?. Dari beberapa kasus di atas seakan menjali cambuk betapa besar agenda tentang rekonsrtuksi terhdap kaifiyah ibadah yang menjadi cakupan fiqih harus segera dilaksanakan.
Faktor penting yang menyebabkan kekakuan pemahaman tersebut ialah kecenderungan untuk mengagungkan sesuatu masa tertentu sebagai masa yang di anggap paling Islami. Dalam perkembangan pemikiriran dan khazanah ke-ilmuan Islam ini adalah tren yang disebut sebagai “al-shalaf al-shalih” sebagai the golden ages Islam, sehingga diposisikan sebagai standart kebenaran bagi setiap pemikiran dan aksi umat Islam generasi berikutnya. Sehingga apapun pemikiran atau praktek keberagamaan yang berkembang saat itu dianggap sebagai yang paling benar, karena paling dekat dengan periode Nabi Muhammad. Akibatnya, akibat perkembangan yang muncul seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai “ancaman” terhadap Islam .
Dari pemikiran glorifikasi tersebut di atas, maka format Islam kontemporer memandang bahwa betapa pentingnya membaca ulang fiqih klasik dalam menjawab masalah kekinian, fiqih klasik harus diteliti secara kritis, dan bukan hanya membongkar pasang fiqih tersebut, melainkan dengan cara memperbarui fiqih dan ushul fiqih yang telah ada. Kecenderungan menyoal dan memperbarui produk fiqih dan wacana ushul fiqih seperti gagasan para tokoh kontemporer dirasa amat penting, tatkala muncul kecenderungan pemahaman klasik yang bersifat formalistik, radikalistik dan fundamenyalistik seperti produk fiqih klasik. Alasan format fiqih kontemporer harus segera digulirkan adalah bahwa sampai sekarang ternyat masih banyak sebagian tokoh ulama’ klasik (salaf) yang ingin menjadikan fiqih bukan sebagai cara atau alat untuk memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang ber-ujung pada formalisasi Syariat dengan kecenderung pola berfikir yang halal dan haram serta hitam dan putih.

D. Melacak Format Ijtihad dan Fiqih Kontemporer
Disadari ataupun tidak, fiqih sebagai produk hukum seharusnya bisa berkomukasi dengan masyarakat sosial, dan qoidah hukum ushul yang menyebutkan bahwa “suatu hukum itu harus bisa bersifat fleksibel tergantung dari masa dan tempatnya” harus benar-benar dipahami, agar pikiran klasik masyarakat Islam demi sedikit akan terkikis, dengan tidak lupa memberikan penyadaran yang berkesinambungan terhadap perkembangan yang ada pada masa kekiniian.
Dalam memahami produk hukum fiqih, kita harus memperhatikan konteks lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang yang pasti akan berbeda. Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat pada masa klasik (abad 2-5 H / 2-7 M) dimana pertama kali ilmu fiqih itu lahir. Mungkin juga letak geografis yang berbeda dimana Islam diturunkan dengan letak geografis para penganut Islam (kaum muslimin) pada masa sekarang akan sangat berpengaruh terhadap tafsir baru terhadap doktrin dan dogma keagamaan Ilam yang terwakili oleh produk fiqih.
Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif antara syari’ah dan maksud atau kandungan syari’aih itu sendiri. Produk fiqih yang tampak kepermukaan dengan disertai sifat-sifatnya yang keras, kaku, rigid, dan toesentris sehingga dianggap sebagai otoritas pengetahuan, harus lebih dipahami sebagai upaya untuk memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sekarang . Fiqih dan ijtihad kontemporer yang direkomendasikan dalam masalah ini seakan melihat bahwa kenyataan mandulnya fiqih klasik ditandai dengan sistematisasi fiqih yang dimulai mengenai bahasan ibadah, dan karakteristik fiqih klasik yang seperti ini akan memandulkan cara pandang fiqih klasik terhadap masala-masalah teknologi, informasi, sosial, politik dan ekonomi.
Gagasan fiqih komtemporer berusaha mengajukan alternatif agar fiqih klasik direformasi dan direkonstruksi menjadi fiqih realitas (fiqhul al-waqi) dan fiqih prioritas (fiqhul al-awlawiyat) . Kedua format ini muncul dari tuntutan terhadap kebutuhan ijtihad baru yang harus dilakukan, seiring dengan kompleknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kekinian. Lebih lanjut gagasan fiqih kontemporer yang dilahirkan melalui proses ijtihad kontemporer ini sebisa mungkin dijadikan sinaran baru bagi problem ke-ummat-an yang sedang aktual.
Dalam pandangan fiqih baru ini, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad ini di arahkan pada masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus didesak kearah problema-probelama aktual seperti, gender, kewarganegaraan, aborsi, jual beli organ tubuh, serta masalah aktual yang lain . Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rarional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental .
Langkah kolosal yang ditempuh fiqih komtemporer lewat sebuah ijtihad baru adalah mencoba melihat syariah Islam sebagai sumber nilai dan etika sosial, bukan hanya sekedar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa dipungkiri, bahwa syariah Islam juga mengatur hal-hal yang bersifat taken for granded, tetapi dengan hanya meletakkan syariah Islam dalam kerangka sumber hukum dapat menyebabkan hilangnya kelenturan syariah iru sendiri. Akibatnya, syariah Islam rental pada monopoli tafsir untuk kepentingan kekuasaan, seperti yang terjadi pada sejarah peradaban fiqih klasik .
Fiqih kontemporer yang dihasilkan melalui ijtihad yang kontemporer melihat bahwa ilmu dan produk hukum fiqih sebagi sumber etika sosial dan kemaslahatan. Fiqih kontemporer membagi membagi kemaslahatan dalam memandang fiqih menjadi tiga bagian; Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer; yaitu kemaslahatan yang harus menjadi acuan utama bagi implentasi syariah Islam. Sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketikdakadilan yang menyebabkan ambruknya tatanan sosial. Kedua, kemaslahatan sekunder. Yaitu kemaslahatan yang tidak mengakibatkan ambruknya tatanan sosial dan hukum, melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah hukum. Ketiga, kemaslahatan suplementer. Yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah etika dan estetika .
Dari berbagai keterangan di atas, menunjukkan betapa pentingnya dalam merekonstruksi fiqih klasik menjadi sebuah ke-ilmuan fiqih yang lebih terbuka dan progresif, demi tercapainya pemahan teologi yang bersifat empiris, pluralis, dan egaliter. Karna dengan pemikiran yang seperti inilah diharapkan fiqih klasik yang terkesan out of date dapat disegarkan kembali dengan pola-pola pemikiran yang lebih eksklusif, sehingga sedapat mungkin mampu menjawab problem-problem ke-ummatan Islam, sehingga dalam setiap langkah pengerjaan terhadap syariah Islam yang dilakukan mereka (kaum muslimin) dapat dilakukan dengan niatan yang pasti dan jelas serta agar mereka merasa tidak terbelenggu dengan aturan-aturan yang ada di dalam keilmuan fiqih tersebut.
E. Penutup
Dengan kehadiran dari konsep dan format tentang fiqih kontemporer yang dihasilkan lewat sebuah proses yang kontemporer, seakan membawa angin segar dalam khazanah keilmuan Islam dalam mengartikan dan mengamalkan syariah Islam dengan penuh nitatan ikhlas dan selalu di bangun atas dasar mencari ridho Allah SWT.
Fiqih kontemporer juga seakan memberikan solusi yang amat sangat signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmat-an yang terjadi pada masa kekinian. Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia yang aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada. Pada akhirnnya kita sebagai manusia yang hanya diberi sedikit rasio dari semua kebenaran haqiqi yang di punyai oleh Allah, berusaha semaksimal mungkin menjalankan apa yang telah di perintahkan sesuai dengan kemapuan keterbatasan kita, semoga tulisan ini memberikan manfaat, dan atas segala khilaf penulis serahkan hanya kepada Alllah, dzat yang maha transendent. Amien.......