Integrasi Sains dan Agama
Dan Implikasinya dalam Sistem Pembelajaran
A. Kegelisahan Akademik
Dikotomi keilmuan, kata itulah yang sekiranya pantas menggambarkan booming wacana dalam beberapa dekade terkhir ini. Ilmu agama dipandang memiliki kutub tersendiri yang secara ekstrim terpisah dengan ilmu umum (saisn), bahkan kurikulum pembelejaran di berbagai lembaga pendidikan (termasuk pendidikan Islam) pun seolah secara terencana memisahkan antara sains dan agama, dan yang lebih miris adalah banyak di jumpai alokasi jam pelajaran untuk ilmu agama sangat jauh presentasenya jika dibanding dengan ilmu umum (sains).
Kekacauan dalam persoalan epistimologi inilah yang kemudian memunculkan berbagai spekulasi tentang masa depan agama di satu pihak, dengan masa depan sains di pihak lain. Beberapa tokoh yang intens dalam urusan ini pun mulai memprediksikan siapakah yang nantinya menjadi “the winner” dalam menyelesaikan semua persoalan yang muincul di abad komtemporer seperti sekarang ini.
Di tengah beberapa golongan terus intens mengusung ideologi mereka dengan pembenaran masing-masing (baik agamawan ataupun ilmuan), muncul beberapa wacana yang mengupayakan bagaimana sains dan agama dapat di integrasikan demi menjembatani kelemahan dari masing-masing kutub tersebut, dan dari sekian tokoh yang berusaha “mengishlahkan” antara sains dan agama adalah Ian G. Barbour dan Homes Rolston.
Kemunculan dua tokoh ini (Ian G. Barbour dan Holmes Rolston) serta gagasan-gagasan brilian merka seakan memberikan “enlightement” dan mazhab baru dalam memahami agama, sains, serta upaya mendialogkan kedua, sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh manusia, demi terciptanya pemikiran manusia yang lebih positif dan progresif, demi terciptanya iklim agama yang tidak hanya bersifat “transendent” dan “ideologis”, tetapi juga harus mampu menembus batas-batas “sosiologis” dan “psikologis” bagi para pemeluknya.
B. Sains dan Agama: Antara Konlflik dan Kedewasaan Berfikir
Ilmu dan agama bertujuan sama yakni dalam hal pencarian kebenaran. Sifat agama adalah memberikan kebenaran secara komprehenshif melalui wahyu yang diturunkan oleh Tuhan, sedangkan sains menuntut dan mendeskripsikan kebenaran berdasarkan hasil kajian empiris dengan menggunakan metode ilmiah. Sains dengan metodenya mencari kebenaran tentang alam (termasuk di dalamnya manusia), sedangkan agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang manusia, dan sains terlahir sebagai produk dari filsafat dan agama[1].
Perbedaan metode tersebut banyak dilatarbelakangi oleh faktor sejarah dan perkembangan zaman. Sebagai catatan, dalam teologi Kristen dapat di jumpai bagaimana agama yang berisfat doktrinal telah sedemikian mungkin mematahkan teori Galileo dalam upaya mencari kebenaran tentang orbit Tata Surya.[2] Dari sini dapat dilihat agama menempati posisi yang hanya memposisikan manusia secara individu, metode penyelidikan yang di gunakan oleh agama lebih bersifat individual dari pemeluknya, dan sebaliknya saisn mencoba masuk dan meneruskan metode penyelidikan tersebut sampai pada wilayah objektivitas non-pribadi.
Kelanjutan dari konflik di atas (sains dan agama) adalah pada ranah kajian yang dikembangkan oleh masing-masing disiplin ilmu tersebut. Agama lebih bersifat “appresiate” terhadap totalitas persoalan yang di hadapi oleh manusia, walaupun kadang solusi yang ditawarkan oleh agama masih sangat abstrak dan cenderung “ideologis”, sedangkan sains lebih bersifat teknis, dan konkrit menjadi solusi apa-apa yang dituhkan oleh manusia.[3]
Bertolak dari perdebatan itu, dapat di analisa bahwa baik Barbour maupun Rolston dalam menyikapi persoalan agama dan sains mereka mensistemisasi dan memetakan dulu berbagai perbedaan “nalar” berfikir dari sains dan agama dengan masing-masing kategorisasi yang dibawa. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini;
No | Religion | Sains |
1. 2. 3. | Lebih bersifat sebagai pengalaman manusia terhdap keberadaan dan kekuasan Tuhan (Experientally) Lebih condong pada makna dari hidup (Existentially) Langkah kerja : Experience Creed Dogma | Interpretasi dari keberadaan manusia dan budaya (Experimentally) Harus dapat menjadi solusi dari problem yang dirasakan oleh manusia (Operationally) Langkah Kerja : Experiment Fact Theory |
C. Integrasi Sains dan Agama: Arah Baru Sikap Keberagamaan
Integrasi dapat dimaknai sebagai proses memadukan nilai-nilai tetentu terhadap sebuah konsep lain sehingga menjadi suatu kesatuan yang koheren dan tidak bisa dipisahkan atau proses pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Dalam upaya intergrasi antara sains dan agama, Barbour menyebutkan ada empat tahapan yakni konflik, independensi, dialog, dan integrasi, dimana teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan juga memerhatikan teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Integrasi dalam perspektif Barbour memiliki makna yang sangat spesifik, yang tujuannya menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theory of nature. Hal ini berbeda dengan natural theology yang tujuan utamanya terutama untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah.[4]
Di lain pihak, Rolston dengan menguatkan pandangan dari Baobour mengatakan bahwa pada dasarnya dimensi agama bisa dikembangkan menjadi bagian dari sains, karena agama pada dasarnya sangat berkaitan dengan fakta empirik yang terjadi dan menimpa para pemeluknya, dan fakta-fakta tersebut kemudian akan menjadi objek kajian dari sains.[5] Rolston menyebutkan bahwa agama tidak akan lepas dari persoalan matter, culture, mind, life.[6] Sebagai bagian dari agama, dimensi-dimensi tersebut terus berproses dan berdiaspora sehingga perlu disiplin sains untuk mengembangkan dan menjawab semua persoalan yang muncul di kemudian hari. Lihat Tabel di bawah ini;
Rolston menjelaskan dalam keberagamaan akan terjadi perubahan paradigma dari agama an-sich, menjadi agama yang harus berhadapan dengan proyeksi sosial, hal ini disebabkan karena agama tidak lagi menjadi hal yang par-excellent bagi pemeluknya, karena agama tidak menyediakan fungsi yang krusial yang dibutuhkan oleh manusia. [7]
Selain itu, paradigma bahwa pendekatan dan metode agama hanya meng-cover urusan pribadi dan individual dari manusia, dan sains hanya bisa masuk pada persoalan yang empirik bisa saja terbalik, karena cabang dari sains (psikologi) menurut Rolston ternyata bisa membantu persoalan agama sampai pada akar ke-individualan dari manusia, seperti teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, yang pada prakteknya dapat di gunakan untuk menganalisis keberagamaan manusia secara psikolgi (Psikologi Agama).[8] Penjelasan tesebut menjadi sebuah penegasan bahwa sesungguhnya integrasi antara sains dan agama bukan lagi menjadi sebuah isu yang mustahil, melainkan harus di lakukan untuk kepentingan sains dan agama itu sendiri.
D. Kontribusi Keilmuan Integrasi Sains dan Agama Dalam Sistem Pembelajaran Di Lembaga Pendidikan
Proses integrasi antara sains dan agama dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui paduan keduanya dalam seluruh komponen pembelajaran. Dalam tataran operasional, integrasi tersebut dapat dimulai dari perumusan tujuan institusional, tujuan kurikulum dan tujuan insturksional/pembelajaran yang menunjukkan adanya misi integrasi sains dan agama.
Tujuan tersebut akan menjadi payung bagi pendidik dalam merencanakan komponen-komponen lainnya, jika rumusan tujuannya menunjukkan adanya misi integrasi antara ilmu dan agama, maka materi, metode, media, sumber dan evaluasinya pun tentunya akan senapas dengan tujuan tersebut.
Secara konseptual, integrasi sains dan agama dapat diwujudkan melalui perumusan visi, misi, tujuan dan program pendidikan (rencana strategis lembaga pendidikan). Adapun secara institusional, integrasi sains dan agama dapat diwujudkan melalui pembentukan “institution culture” yang mencerminkan paduan antara sains dan agama, sedangkan dalam tataran operasional, rancangan kurikulum dan esktrakulikuler harus diramu sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai fundamental agama dan ilmu terpadu secara koheren. Sementara secara arsitektural, integrasi dapat diwujudkan melalui pembentukan lingkungan fisik yang berbasis sains dan agama, seperti sarana ibadah yang lengkap, sarana laboratorium yang memadai, serta perpustakaan yang menyediakan buku-buku agama dan ilmu umum secara lengkap.
E. Penutup
Wacana bahwa sains dan agama merupakan bagian yang saling mengusik dan saling menegasikan satu dengan lainnya adalah bagian dari catatan sejarah kehidupan manusia. Masa dimana sains harus vis a vis dengan agama tidak dapat di generalisasikan di sepanjang jalan kehidupan manusia, karena perubahan epistimologi keilmuan seiring dengan perkembangan kemampuan manusia akan terus saling berdialog.
Agenda terpenting bagi kaum saintis dan agamis adalah penyadaran terhadap para pengikutnya untuk tidak lagi menutup mata dan menegasikan antara sains dan agama. Hal ini terbukti dengan wacana dan proses integrasi sains dan agama satu sama lain saling mengisi masing-masing kelemahan yang ada.
Agama tanpa sains akan menimbulkan sesuatu yang kaku, rigid, dogmatis, dan mungkin normatif terutama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ke-ummatan di zaman kontemporer seperti sekarang ini. Begitupun dengan sains bila digunakan tanpa ada rasa penyerahan dan pengakuan terhadap Tuhan dan hamba-hambanya, ia akan menjadi mesin pembunuh sempurna antar manusia itu sendiri, karena hilangya kepedulian dan dimensi sosiologis lain antar sesama saintis.
Salah satu media, yang bertanggung jawab atas sukses atau tidaknya proses integrasi sains dan agama di masa kontemporer seperti sekarang adalah lembaga pendidikan yang mampu menyatukan, dan menjadikan sains dan agama sebagai dua pijakan yang sama-sama urgen, demi terciptanya manusia-manusia yang agamis saintis, yang selalu menggunakan “nalar” saintisnya, bukan hanya manusia yang agamis dengan tipologi nalar “dogmatis”.
[1] Ian Barbour, Isu Dalam Sains dan Agama, UIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta 2006, hlm. 1-2, bandingkan dengan Holmes Rolston III, Ilmu & Agama ; Sebuah Suvei Kritis,
[2] Ian Barbour, Ibid, hlm. 19
[3] Ian Barbour, Op.Cit, hlm. 3
[4] Ian Barbour, Loc, Cit. hlm. 589-615
[5] Holmes Rolston, Ilmu dan Agama; Sebuah Survei Kritis, UIN Sunan Kaliaga Press, Yogyakarta 2006, hlm. 289-335
[6] Holmes Rolston, Ibid, hlm. 49-421 pembagian ini yang kemudian menjadikan struktur dasar dari buku Holmes Rolston dimana bab per-bab dari buku ini menjelaskan masing dari dimensi-dimensi tersebut.
[7] Holmes Rolston, Op, Cit, hlm. 323-330
[8] Holmes Rolston, Loc, Cit, hlm. 229-246