Minggu, 12 Desember 2010

KONSEPSI MANUSIA DALAM QUR’AN (Kajian Tentang Manusia Sebagai Khalifah fi al-Ardl)

A. Prolog
Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Kepribadian dan hakikat diri manusia itu sendiri sangat unik bahkan sangat sulit dipahami oleh manusia itu sendiri. Sehingga kajian-kajian untuk memahami manusia sesungguhnya banyak melahirkan disiplin-displin keilmuan yang beragam seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi. Manusia sebagai subjek dan objek alam melahirkan proses yang berkesinambungan yang menciptakan ragam budaya dan corak kehidupan yang berbeda-beda. Begitu banyak dimensi yang ditemukan dalam diri manusia sehingga studi terhadap manusia semakin lama semakin berkembang dan dinamis.
Dalam sudut pandang agama, manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Begitu banyak karunia dan kelebihan yang dimilikinya sehingga peran manusia di bumi menjadi sangat sentral dalam merancang kesinambungan kosmos dimana manusia hidup. Dengan kondisi yang sempurna, maka ada tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Sebagai makhluk yang sempurna, maka ada amanat tersendiri bagi manusia yang harus dijalankan dengan merujuk pada petunjuk Tuhan yang terangkum dalam kitab-kitab-Nya.
Amanah yang diemban manusia sebagai mandataris Allah, menuai beberapa interpretasi. Sebagian mufassir mengartikan bahwa tugas manusia hanya terbatas pada tugas-tugas keagamaan, sebagian mufassir lainnya mengartikan bahwa amanah tidak hanya terbatas pada tugas-tugas keagamaan an sich, tetapi lebih luas lagi yaitu mengemban tugas-tugas khilafah dalam mengembangkan berbagai sumber daya yang telah disediakan oleh Allah SWT di muka bumi.
Melalui firman-Nya dalam al-Qur’an, Allah SWT telah memproklamirkan manusia sebagai makhluk unggulan, makhluk istimewa, dengan dibekali dengan berbagai potensi insani yang luar biasa. Potensi-potensi ini manakali dikembangkan secara professional, akan menjadikan manusia sebagai makhluk berbudaya, berperadaban dan lebih memantapkan dirinya sebagai mandataris Allah di bumi (khalih fi al-ardl). Akan tetapi, apabila pengembangan potensi tersebut tidak tepat, manusia bisa menjadi monster yang dapat merusak dan mengancam kedamaian dunia.
Hal inilah yang menarik untuk selalu dikaji dan dikembangkan. Bahwa manusia diberi mandat oleh Allah untuk menjadi pemimpin di muka bumi, adalah bukan sesuatu hal yang main-main bagi Allah SWT. Karena hal ini juga pernah dipertanyakan oleh para malaikat, ketika Allah mengumumkan akan menciptakan seorang makhluk di muka bumi dan sempat diprotes oleh kalangan malaikat, akan tetapi Allah dengan kebesaran-Nya mengeluarkan statmen sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui. Untuk menggali tentang manusia dalam perspektif Islam, maka kita harus memulainya dari sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an banyak sekali memaparkan tentang manusia dari masalah penciptaannya sampai dengan bagaimana manusia menjalankan mandat Allah yang telah dipikulkan kepadanya.

B. Sejarah Manusia dalam Al-Qur’an
dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan proses penciptaan manusia. Setidaknya ada lima penggunaan istilah yang menjelaskan tentang model penciptaan manusiam yaitu al-ma’, an-nafs atau anfus, at-tinm. Berikut akan penulis paparkan ayat-ayat yang berkenaan dengan istilah-istilah tersebut :


1. al-Ma’ (air)
Seperti dalam surah al-Furqan ayat 54:
              )


Artinya, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”

2. al-Nafs atau al-Anfus
Dalam surat An-Nisa ayat 1 dijelaskan terkait dengan penciptaan manusia dari nafs atau anfus.
 ••                 •       •     

Artinya, “Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari Nafs yang sama dan daripadanya Allah menciptakan pasangan daripada keduanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisa ayat 1)

3. al-Tin (tanah)
Dalam penciptaan manusia dari unsur tin, Allah SWT berfirman :
  •         
Artinya” Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.


Berkaitan dengan pemaknaan diatas Aminah Wadud dalam Qur’an and Women mengutip al-Maududi tentang proses penciptaan manusia bahwa hal tersebut mencakup tiga hal;
1. Penciptaan awal (initiation)
2. Penyempurnaan (perfection)
3. Memberikan kehidupan (giving a live)
Menurut ibn Katsir dari empat konsep penciptaan manusia yaitu :
1. Penciptaan Adam dari tanah tanpa ayah dan ibu
2. Penciptaan hawa dari laki-laki tanpa perempuan
3. Penciptaan Isa dari seorang perempuantanpa laki-laki
4. penciptaan manusia dari proses pembuahan
Sementara itu para fakar tafsir seperti Muhammad Abduh mempunyai pandangan lain mengenai makna nafs sebagai jenis (sejenis tanah yang sama). Asal penciptaan perempuan yaitu Hawa pada umumnya mengacu pada kata nafs dalam
1. surah An-Nisa ayat 1
 ••                 •       •     
Artinya, “Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari Nafs yang sama dan daripadanya Allah menciptakan pasangan daripada keduanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.




2. Surat al-‘Araf ayat 189
                      •      •   

Artinya, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
3. Surat al-Zumar ayat 6
                  •                      

Artinya, “Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?”

Dalam pengertian yang lain, Ibnu Maskawaih mengatakan, manusia merupakan alam kecil (microcosmos) yang di dalam dirinya terdapat persamaan-persamaan dengan semua yang ada di alam besar (macrocosmos). Panca indera yang dimiliki manusia, disamping mempunyai daya-daya yang khas, juga mempunyai indera bersama (hissi musytarokah) yang berperan sebagai pengikat sesama indera. Indera bersama ini dapat memberi citra- citra inderawi secara serentak tanpa zaman, dan tanpa pembagian. Citra-citra itu saling bercampur dan terdesak pada indera tersebut.
Beberapa tokoh seperti al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd, menyatakan bahwa hakikat manusia dalam sejarah penciptaannya dapat di bagi dua komponen yang penting. Yaitu : 1) komponen Jasad, menurut al-Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri dari atas organ. begitu juga dengan al-ghazali memberikan sifat jasad manusia yang ada di dalam bumi ini, yaitu dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, ini tidak berbeda dengan benda-benda yang lainnya. sedangkan Ibn Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi. 2) komponen jiwa, yang menurut al-Farabi komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam Khaliq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. Hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan, walaupun menyamai Dzat-Nya. sedangkan menurut al-Ghazali, jiwa ini dapat berfikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. sedangkan unsur jiwa merupakan unsur rohani sebagai penggerak jasad untuk melakukan kerjanya, yang termasuk alam ghaib. Ibn Rusyd memandang jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awalk ini karena jiwa dapat dibedakan dengan kesempurnaan lainnya yang merupakan pelengkap dirinya. Seperti yang terdapat pada perbuatan, sedangkan yang disebut dengan organik karena jiwa menunjukkan jasad yang terdiri dari anggota-anggota.
Dari beberapa penjelasan sejrah manusia dalam al-Qur’an dan pendapat para tokoh di atas, dapat simpulkan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen jasmani dan rohani. Komponen jasmani berasal dari tanah. Sebagaimana yang dikemukakan di dalam al-Qur`an Surat as-sajadah ayat 7 :



  •         
Artinya : Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Dan komponen rohani ditiupkan oleh Allah, sebagaimana diungkapkan di Dalam al-Qur`an surat al-Hijr ayat 29 :
         
Artinya : Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Dengan kata lain manusia adalah satu kesatuan dari mekanisme biologis, yang dapat dinyatakan berpusat pada jantung (sebagai pusat kehidupan) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (sebagai lambang berfikir, merasa dan bersikap). Tetapi berbeda apa yang disampaikan oleh Ibnu Maskawaih, bahwa Ia tidak memasukan hayah (unsur hidup) sebagai salah satu dari kedua komponen tersebut. Ia beralasan hayah berdiri sendiri. Hal ini karena pada diri manusia ketika dalam bentuk embrio sudah terdapat kehidupan walaupun roh belum ditiupkan. Sedangkan hayah sendiri terdapat pada sperma dan ovum yang membuat embrio menjadi hidup dan berkembang. Dengan demikian manusia adalah perpaduan antara tiga unsur ciptaan Allah. Yang berupa materi, jiwa (imateri), dan hayah (unsur hidup).
Selanjutnya dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia menurut al-Qur’an pada dasarnya dapat ditempatkan ke dalam tiga kategori, yaitu :
1) manusia sebagai makhluk biologis (al-Basyar) pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk-makhluk biotik lainnya walaupun struktur orangnya berbeda, Sebagaimana tertera di dalam al-Qur`an surat al-Hijr ayat 28 :
           • 
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Karena sesungguhnya struktur organ manusia lebih sempurna dibandingkan dengan makhlik-makhluk yang lainnya. Sebagaimana tertera di dalam al-Qur`an surat at-Tiin ayat 4 :
      
Artinya : Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
2) Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai ruhani seperti fitrah, sebagai mana tertera di dalam al-Qur`an surat ar-Ruum ayat 30 :
         ••             ••   
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dan juga manusia mempunyai Qalb, termaktub pada al-Qur`an surat al-Hajj ayat 46 :
              •          
Artinya : Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Selain Qalb manusia juga mempunyai aqal, tertera di dalam al-Qur`an surat al-Imran ayat 190-191 :
       •                         • 
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka (191)
Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya, yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sebagaimana yang disinyalir di dalam al-Qur`an surat : Bani Isra`il ayat 70 :
                 
Artinya : Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
Artinya potensi tersebut tidak dapat digunakan dengan baik manusia tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih hina. Sedangkan bentuk insaniahnya (humanisme) terletak pada iman dan amalnya.



3) manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta.
Ketiga kerangka tersebut akan digunakan bahan pijakan pada sub pembahasan selanjutnya kaitannya dengan hakikat manusia, tujuan hidup manusia, kedudukan manusia, serta tugas manusia, yang nantinya akan ditemukan titik temu mengapa manusia terpilih dan dipilih oleh Allah menjadi Pemimpin "khalifatullah" di muka bumi ini.

C. Konsep Manusia Sebagai “Khalifah “ Dalam al-Qur’an
Sebelum kita membahas hakikat manusia, terlebih dahulu penulis kemukakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar filosofis dalam pandangan pendidikan Islam, dan dari pandangan ini nantinya akan dikembangkan di dalam filsafat pendidikan manusia dengan sumber potensi yang dimiliki oleh manusia.
Al-syaibany dalam hal ini menyebutkan delapan prinsip. yaitu :
a) Manusia adalah makhluk yang paling mulia di alam ini. Allah telah membekalinya dengan keistimewaan-keistimewaan yang berhak mengungguli makhluk lain.
b) Kemuliaan manusia atas makhluk lain adalah karena manusia diangkat sebagai khalifah (wakil) Allah yang bertugas memakmurkan bumi atas dasar ketakwaan.
c) Manusia adalah makhluk berfikir yang menggunakan bahasa sebagai media.
d) Manusia adalah makhluk tiga dimensi seperti segi tiga sama kaki, yang terdiri dari tubuh, akal, dan ruh.
e) Pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan.
f) Manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan.
g) Manusua sebagai individu berbeda dengan manusia lainnya, karena pengaruh faktor keturunan dan lingkungan.
h) Manusia mempunyai sifat luwes dan selalu berubah melalui proses pendidikan.
Mengacu pada delapan prinsip di atas, kiranya kita dapat mengetahui hakikat manusia yang sebenarnya.
Kemudian, di bawah ini akan di bahas hakikat manusia dari pandangan Islam yang ditinjau dari aspek tujuan hidup, kedudukan, dan tugas manusia sebagai kholifah.
1) Tujuan Hidup Manusia
Tujuan hidup atau untuk apa sebenarnya manusia ini hidup telah termuat dalam firman Allah surat al-Dzariyat ayat 56, yaitu :
      
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Bahwa Allah menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas, yaitu nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan. Pendeknya, tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah dalam segala tingkah laku.
Tujuan hidup ini pada nantinya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, sebab pada dasarnya tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk memelihara dan mengarahkan kehidupan manusia. Manusia yang seperti apa nantinya nantinya dapat dibentuk tergantung kepada tujuan hidup yang hendak dicapai oleh seorang muslim.
2) Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia dalam pandangan al-Qur`an adalah Khalifah Allah di bumi. Sebagai mana yang terkandung di dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 30 :
                     •         

Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? " Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
surat an-Nuur ayat 55 :
       •              •                   

Artinya : Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Kata khalifah dapat diartikan sebagai mereka yang datang kemudian sesudah kamu, yang diperselisihkan, silih berganti, berselisih, dan pengganti . Dari pengertian ini kalau kita tarik dalam kata khalifatullah dapat diartikan sebagai "pengganti Allah". pengertian ini menurut Dawam Rahardja mempunyai tiga makna, pertama, khalifah Allah adalah Adam, dan juga sebagai simbol manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah khalifah. Kedua, khalifah Allah itu adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu kedudukan khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi, ketiga, khalifah Allah itu adalah kepala negara atau kepala pemerintah. dari ketiga makna tersebut kiranya dapat mendukung untuk dapat diterapkan dalam hal posisi manusia sebagai khalifah Allah.
Sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, Hasan Langgulung menggolongkan manusia mempunyai beberapa sifat karakteristik, antara lain :
a) sejak awal penciptaannya, manusia adalah baik secara fitrah. Ia tidak mewarisi dosa Adam meninggalkan syurga
b) interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah. Karakteristik ini yang dapat membedakan dengan makhluk yang lainnya.
c) Mausia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will) suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri.
d) Manusia dibekali aqal yang dengan aqal itu manusia membuat pilihan antara yang benar dan yang salah .



3) Tugas dan Fungsi Manusia dalam Kehidupan
a) Manusia sebagai hamba Allah (Abdullah)
Manusia selaku hamba Allah selalu tunduk kepada-Nya. Adalah maksud diciptakannya manusia adalah sebagai hamba Allah. Sebagai seorang hamba, manusia diwajibkan beribadah kepada penciptannya yaitu Allah SWT. Dalam arti selalu tunduk dan taat perintah-Nya, guna mengesakan dan mengenal-Nya sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
Ibadah secara haefiyah adalah rasa tunduk (taat) melakukan pengabdian (tanassuk) merendahkan diri (khudlu) menghinakan diri (tadzallul) dan istikhanah. Sebagaimana yang digambarkan oleh Muhammad Abduh, menginterpretasikan kata "na`budu" yang terdapat di dalam surat al-Fatihah, adalah sebagai rasa ketaatan dengan penuh kemerdekaan dan setiap ungkapan yang menggambarkan makna secara sempurna. Selanjutnya Abduh menegaskan bahwa ibadah pada hakikatnya adalah sikap tunduk semata-mata untuk mengagungkan dzat yang disembahnya, tanpa mengetahui dari mana sumbernya dan kepercayaan terdapat didalamnya tidak dapat dijangkau pemahaman dan hakikatnya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa ibadah bukan berarti seseorang yang sangat rindu mengagungkan dan mematuhi kekasihnya, sehingga kemauan dirinya menyatu dengan kehendaknya. tidak berbeda juga pendapat yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah yang memformulasikan nilai ibadah dengan segala usaha yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Abu A`la al-Maududi, menyatakan bahwa ibadah dari akar kata `abd yang artinya "pelayan" atau "budak". Jadi hakikatnya ibadah adalah penghambaan dan perbudakan. Sedangkan dalam arti terminologinya adalah usaha mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan Allah dalam menjalankan kehidupan yang sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Dari mulaiaqil baligh hingga samapai meninggal dunia. Indikasi ibadah adalah kesetiaan, kepatuhan, dan penghormatan, serta penghargaan terhadap Allah.
Ibadah dalam hal ini terdapat dua pengertian yaitu pengertian khusus (Khos) dan pengertian umum (`aam). Dalam pengertian khusus ibadah adalah melaksanakan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannyayang tata caranya telah diatur secara terperinci di dalam al-qur`an dan as-Sunnah, sedangkan ibadah dalam artian umum adalah aktifitas yang titik tolaknya ikhlas dan ditunjukkan untuk mencapai ridho Allah berupa amal shalih.
Letak esensi Islamnya adalah terciptanya muslim sejati dengan keikhlasan beribadah kepada Allah. Dengan jaminan mendapatkan keadilan, kemakmuran, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan hidup tanpa batas ruang dan waktu. Sedangkan ibadah dilihat dari segi sasarannya dapat diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu, ibadah person, ibadah antar person dan ibadah sosial.
b) Manusia Sebagai Khalifatullah
kehidupan manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah (QS. 2:30), (38:26), sebagai pengganti dan penerus person (species) yang mendahuluinya. Sebagaimana termaktub di dalam al-Qur`an surat al-A`raaf ayat 169 :
                              •             
Artinya : Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka Telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?.
Kemudian manusia sebagai pewaris-pewaris di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat
•            •    •  
Artinya : Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).
Disamping itu manusia adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi dan gunung, yang semuanya enggan menerimanya, namun dengan ketololannya manusia mau menerima amanah itu, yang terkandung di dalam al-Qur`an surat al-Ahzab ayat 72 :
                   
Artinya : Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Kemudian manusia menjadi pemimpin atas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, hal ini disampaiakan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar. Yang kesemuanya itu merupakan atribut dari fungsi manusia sebagai "khalifah Allah" di muka bumi.
Penciptaan manusia sebagai makhluk tertinggi sesuai dengan maksud dan tujuan terciptanya manusia untuk menjadi khalifah. Secara harfiyah khalifah berarti yang mengikuti dari belakang. Jadi khalifah adalah wakil atau pengganti di bumi dengan tugas menjalankan mandat dari Allah, membangun dunia sebaik-baiknya (surat al-Baqarah : 30) dan surat al-An`am ayat 165, yang berbunyi :
               •       
Artinya : Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebagai khalifah juga manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas tugasnya dalam menjalankan mandat Allah, disinyalir di dalam al-Qur`an surat Yunus ayat 14, yang berbunyi :
          
Artinya : Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.

D. Implikasi Konsep Khalifah fi al-Ardl Terhadap Pendidikan Islam
Dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali oleh Allah SWT dengan berbagai potensi. Potensi-potensi yang diberikan Allah merupakan anugrah yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lainnnya. Potensi-potensi ini dikenal dengan istilah fitrah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang memungkinkan ia menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Hadis ini mengisyaratkan sejak lahir telah dibekali potensi-potensi yang disebut fitrah.
Fitrah kiranya merupakan modal dasar bagi manusia agar dapat memakmurkan bumi dan mengembangkannya untuk kebutuhan hidupnya di dunia dan juga sebagai sarana penunjang dalam meraih kehidupan ukhrawi yang hakiki. Berkenaan dengan potensi (fitrah yang dimilikinya, manusia diberi beberapa predikat oleh para ahli filsafat, antara lain manusia sebagai homo sapiens (makhluk berbudi pekerti), homoanimale rationale (yang dapat berpikir), homo laquen (pandai menciptakan bahasa) dan beberapa predikat lainnya.
Pandangan Islam di atas kiranya memiliki implikasi, bahwa seandainya manusia dibiarkan saja tanpa diberikan pendidikan, maka manusia dengan sendirinya akan menjadi baik, sebab manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali potensi kebaikan. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah manusia tidak dapat terlepas dari pengaruh lingkungannya., baik lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi perkembangan potensi manusia. Potensi yang dimiliki akan stagnan dan inefisiensi apabila tidak diarahkan dan dikembangkan. Untuk mengembangkanny haruslah melalui proses pendidikan.
Setidaknya ada tiga dimensi yang harus dikembangkan dalam menentukan orientasi pendidikan Islam untuk memantapkan posisi manusia sebagai khalifah fil ‘ardl, yaitu :
a. Dimensi kepribadian sebagai manusia, yaitu kemampuan untuk menjaga integritas, termasuk sikap, tingkah laku, etika dan moralitas yang sesuai dengan masyarakat.
b. Dimensi produktivitas, yakni menyangkut apa yang dihasilkan oleh manusia. Idealnya adalah dapat menghasilkan jumlah yang banyak dengan kulaitas yang lebih baik, dinamis dan inovatif. Sebagaimana firman Allah QS. An-Nahl : 97 :
         •    •      

Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
c. Dimensi kreativitas, yakni kemampuan seseorang untuk berpikir dan berbuat kreatif, menciptakan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. Akal kreatif manusia (potensi akal) dan ungkapan ekspresinya (potensi kalbu) yang menjadikan ia mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pembawa amanah “Abdullah” sekaligus “kahlifatullah” di tengah-tengah posisinya yang unik dalan sistem kemakhlukan dan posisinya yang menonjol dalam hubungannya denganAllah SWT. Manusia yang dapat mengembangkannya sumber daya seperti itu, mendapat konsesi dari Allah SWT untuk menundukkan dan mendayagunakan beragam sumber daya , baik sunber daya alam, maupun sumber daya teknologi, bahkan mungkin sumber daya supranatural yang tidak teridentifikasi, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 32-33 :
            •                         • 
32. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”
33. “Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”

E. KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, semakin jelaslah betapa penting peran seorang manusia dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah fil ‘ardl. Ketika manusia memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin di muka bumi, maka manusia harus mengedepankan tiga hal yaitu kepribadiannya sebagai manusia yang membedakannya dengan makhluk lain yang bertugas untuk tetap menggalang integritas termasuk mengedepankan etika, tingkah laku serta akhlak yang diaplikasikan di masyarakat. Kemudian mengembangkan produktivitas terkait dengan bagaimana mengelola beragam sumber daya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, serta kreativitas yakni mengembangkan sisi irfani manusia dalam mengembangkan rekayasa teknologi dari dinamika ilmu pengetahuan yang menuntutnya untuk selalu berpikir kreatif-inovatif.

Implikasi akan eksistensi manusia sebagai pemimpin di muka bumi terhadap pendidikan Islam, tentunya membawa dua impact, yaitu potensi positif dan negatif. Dan sebagai manusia kita harus dapat merubah potensi negatif tersebut kearah potensi positif yang diharapkan akan melingkupi berbagai aktivitas manusia untuk senantiasa memperhatikan kemaslahatan dirinya dan alam semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar