Minggu, 12 Desember 2010

Quo Vadis Pendidikan Islam; Tela'ah Pendidikan Islam Yang Menghidupkan

Oleh : M. Yusron, .M.S.I


A. Pendahuluan

Persoalan yang paling tidak masuk akal dalam Pendidikan Islam adalah bagaimana Pendidikan Islam seolah tidak mampu mendifinisikan dengan jelas apa yang di maksud Pendidikan Islam itu sendiri . Belum lagi matang di tingkatan epistimologi keilmuan Islam, Pendidikan Islam di penjuru dunia, bahkan di Indonesia sudah harus mengahadapi berbagai persoalan eksternal yang muncul dari dunia global.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, secara konsep maupun secara kelembagaan, Pendidikan Islam harus bertarung ketat memperjuangkan jenis kelamin-nya antara mempertahankan struktur keilmuan Pendidikan Islam dengan gerakan kamuflase untuk merespon struktur keilmuan dan kepentingan global. Hal ini tergambar jelas dalam model pendidikan Islam di Indonesia, seperti di pesantren dan masrasah yang ada di Indonesia.
Pendidikan Islam yang seperti ini seharusnya dapat di dekonstruksi dan rekonstruksi, hal ini dilakukan sebagai upaya meletakkan Pendidikan Islam pada kedudukan yang setingkat lebih baik dari hanya sekedar objek comoohan “la yamutu wa la yahya”/ madarsah tidak bermutu tapi banyak biaya.

B. Wacana Rekonstruksi dan Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Secara kelembagaan, Pendidikan Islam (Madrasah) di Indonesia telah lama tumbuh dan mengakar kuat di bumi Nusantara ini, Karel A Steenbrink dalam penelitiannya yang menelusuri pertumbuhan marasah di Indonesia menyimpulkan bahwa, kemunculan madrasah adalah respon pesantren akibat adanya lembaga pendidikan modern secara berjenjang yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda . Namun demikian sejarah panjang yang ditempuh oleh Pendidikan Islam di Indonesia tidak serta merta menempatkan Posisi Pendidikan Islam mapan, dan mampu bersaing dengan pendidikan di luar Islam .
Disisi lain, wacana bahwa kehidupan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikanya, dan maju-nya pendidikan di sebuah bangsa akan memicu kemajuan di bidang saint dan tekhnologi , semakin memojokkan Pendidikan Islam di titik nadir terendah. Karena pada keadaan yang seperti ini Pendidikan Islam tidak lagi menjadi menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat untuk memperbaiki tingkat pendidikan para penerusnya.
Tuntutan bahwa tipologi Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang secara keilmuan dan kelembagaan mampu mengembangkan potensi intelektual, spiritual, sosial, keterampilan, dan karakter dari para peserta didik, mau tidak mau harus direspon oleh Pendidikan Islam. Selain tujuan pendidikan di atas, Pendidikan Islam juga merespon wacana hukum pasar, yang menghendaki para Sumber Daya Manusia yang marketable yang mempunyai kualiats dan profesionalitas mumpuni, sehingga Pendidikan Islam akan mampu menetapkan kebijakan supply and demand demi kemajuan di masa depan.
Demi merespon berbagai tantangan di atas, Pendidikan Islam di Indonesia seharusnya mampu merubah diri. Dalam terminogi ini setidaknya ada 2 langkah pendekatan yang bisa di gunakan oleh lembaga Pendidikan Islam agar lebih bernilai sebagai rohmatan lil alamin;

1. Integrasi Keilmuan
Dalam sejarah Islam, trauma tentang dikotomi ilmu pengetahuan sampai saat ini masih menjadi sindrom yang mengakar akut. Dalam pendekatan Integratif, paradigma pemisahan ilmu tersebut harus di buang jauh dari Pendidikan Islam. Dalam artian bahwa Pendidikan Islam di tuntut untuk menyelesaikan 2 masalah sekaligus, baik secara agama maupun secara umum, pendidikan Islam harus ditempatkan menjadi pioner dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh ummat secara keseluruhan .
Secara konseptual, Pendidikan Islam harus bertolak pada pandangan bahwa pertama; kerangka keilmuan pada essensinya terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri, kedua; Islam tidak mengenal dikotomi Ilmu antara ilmu agama dan umum, ketiga; ilmu itu diciptakan oleh manusia, hanya saja sejak penciptaan, perkembangan, dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Allah .
Dalam konteks yang lebih operasional, pendidikan Islam yang berbasis pada pemecahan masalah (Education Based Problem Solving), harus di letakkan di berbagai sendi dari Pendidikan Islam, dengan demikian perlu adanya rekonstruksi di acuan Pendidikan Islam atau kurikulum .

2. Reformasi Pengelolaan Kelembagaan
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah pada hakikatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara demokratis. Meskipun dalam pengembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan peroangan, kehidupan madrasah tetap ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya.
Ketika banyak pihak berbicara tentang otonomi pendidikan, strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based manajemen), madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenal hal tersebut. Inilah kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya CBM akan bermuara pada sistem madrasah (school based management) yakni pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonom.
Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen Lembaga Pendidikan Islam; kepala madrasah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan madrasah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan Pendidikan Islam yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan Lembaga Pendidikan Islam untuk melakukan upaya-upya mereformasi diri. Pertama, Lembaga Pendidikan Islam harus mengakomodasi berbagai masukan dan kritik dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kapada masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Lembaga Pendidikan Islam.
Kedua, Lembaga Pendidikan Islam hendaknya menajdi lembaga inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi keilmuan di lembaga pendidikan ini. Lembaga Pendidikan Islam hendaknya menerima integrasi ilmu-ilmu umum dengan terbuka, serta memebrikan kebebasan kepada para siswa untuk mendalami pengetahuan dan tekhnologi sesuai dengan dengan pilihan minatnya.
Ketiga, Lembaga Pendidikan Islam harus menjadi lembaga yang responsive terhadap berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang terjadi dalam dunia kerja. Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi lembaga link and mact yang meyediakan lulusan yang siap kerja dengan berbekal nilai-nilai keagamaan. Tentu untuk itu, dibutuhkan waktu, sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, paradigma efektif dan efisien dalam proses pendidikan harus di kedepankan oleh Lembaga Pendidikan Islam.

C. Kerangka Kerja Pendidikan Islam yang menghidupkan ( Sebuah Refleksi Pemikiran )

Di sadari atau pun tidak, banyaknya konsep dan wacana tentang perubahan epistimologi dan pengembangan lembaga pendidikan islam (madrasah) dalam mengahadapi tantangan globalisasi dan kebutuhan pasar (the new world) akan terasa cemplang kalau hanya sebatas pemikiran, diperlukan action yang mumpuni di tingkat lembaga pendidikan islam (madrasah) itu sendiri. Hal ini menjadi titik tekan bahwa, semua upaya merekonstruksi madrasah sebenarnya harus berawal dari madrasah itu sendiri, dengan membenrdayakan semua element yang di miliki oleh madrasah.
Kesulitan yang selama ini dirasakan dalam merekonstruksi dan mengembangkan madrasah adalah ketergantungan yang berlebihan terhadap sistem pendidikan yang di terapkan di Indoensia. Penulis melihat bahwa para pengelola madrasah seakan lupa terhadap akar sejarah dan prinsip-prinsip penting dari kemunculan madrasah . Penyakit parasit ini harus mulai di terapi sendiri (healing) oleh lembaga madrasah, karena kalau selamanya sistem di pakai sebagai roda penggerak dan pengembang madrsah maka selamanya kita akan menjumpai madrasah sebagai lembaga yang identik dengan sebutan “Pesantren Masuk Pagi”, dalam artian bahwa epistimolgi madrasah tidak lebih baik dari kurikulum pesantren, bedanya hanya madrasah selalu tertib masuk pagi jam 7 dan keluar jam 12, untuk itu perlu langkah inovatif atau mungkin liberatif yang harus di miliki oleh pengelola madrasah.
Dalam menjalankan visi ini pengelola lembaga madrasah di tuntut mempunyai visi dan pandangan yang luas tentang pendidikan Islam di masa sekarang, harus juga mempunyai pandangan yang jitu dalam menetapkan sumber daya madrasah, disertai dengan pola management yang kooperatif sekaligus komprehensif. Dari beberapa catatan yang penulis temui, setidaknya ada 4 langkah yang perlu di tempuh oleh pengelola madrasah dalam mengembangkan madrasah agar dapat hidup lebih lama, atau mungkin menjadi sedikit lebih hidup, antara lain:
Pertama; melakukan analisis SWOT terhadap wacana dan perkembangan zaman. Analisis ini mutlak diperlukan oleh semua pengelola madrasah untuk membaca wacana dan perkembangan zaman demi terwujudnya madrasah yang dapat merespon tuntutan pasar. Analisis ini diperlukan sebagai metode “semi hermeneutik” untuk kemudian mengembangkan kerangka epistimolgi keilmuan madrasah.
Semua sepakat kalau keilmuan agama yang selama ini dikembangan oleh madrasah terasa sangat penting untuk membangun karakteristis ke-Islaman yang identik dengan moralitas, namun lebih dari itu keilmuan umum (exact) juga harus dibangun dengan baik oleh madrasah. Dengan kata lebih lugas, analisis SWOT tentang wacana perkembangan zaman harus mampu merubah struktur kurikulum yang dikembangan di madrasah. Madrasah harus berani menambah atau mengganti mata pelajaran agama yang proporsinya berlebih dengan mata pelajaran umum (exact) yang diperlukan pada masa sekarang.
Konsekwensi dari semua itu adalah madrasah harus menambah jam belajar yang selama ini di pakai, dalam artian matematika kalau selama ini madrasah masuk jam 7.00 dan keluar jam 12.00, dengan beban jam mata pelajaran ilmu agama + ilmu umum harus berimbang, kemudian bandingkan dengan sekolah umum yang masuk jam 7.00 dan keluar jam 13.00, dengan jam pelajaran ilmu umum (exact) lebih banyak, maka akan dapat di hitung berapa jam madrasah mempunyai waktu untuk memberikan mata pelarajan umum (exact). Untuk itu, agar ilmu umum (exact) juga mendapat proporsi yang lebih, maka madrasah harus menambah jam belajarnya di kelas, katakanlah masuk jam 7.00 dan keluar jam 14.00 – 15.00 (full day), agar madrasah tidak tertinggal oleh sekolah umum, dan pengelola madrasah harus mampu memperhitungkan hal semacam ini.
Kedua; jika langkah pertama telah berhasil di kembangan, madrasah atau pengelola madrasah harus mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam menerapkan langkah di atas. Penulis sangat prihatin ketika menjumpai ternyata masih ada di beberapa wilayah bahwa banyak guru-guru madrasah yang mengampu mata pelajaran yang tidak sesuai dengan disiplin keilmuannya, contoh guru agama mengajarkan Bahasa Indonesia, atau mungkin di Lembaga Pendidikan Tinggi seperti IAIN atau STAIN banyak di jumpai seorang dosen Agama Islam mengampu mata kuliah Psikologi, atau Sosiologi.
Salah ajar seperti ini harus segera di “bunuh” oleh pengelola madrasah. Sedapat mungkin, atau bahkan wajib bagi pengelola madrasah untuk menyiapkan sumber daya manusianya sesuai dengan displin ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat (warga madrasah). Adanya Undang-Undang Guru dan Dosen harus benar benar di manfaatkan oleh pengelola madrasah untuk menyeleksi dan menempatkan sumber daya manusia madrasah sesuai dengan displin keilmuan masing-masing, konsekwensinya madrasah harus menambah sumber daya manusianya sesuai dengan yang butuhkan oleh kurikulum.
Tidak sebatas itu, untuk meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki oleh madrasah, pengelola madrasah juga harus menerapkan standart kedisiplinan yang tinggi untuk melihat dan mempertahankan etos kerja yang dimilki oleh madrasah, dalam artian bahwa, pengelola madrasah harus mampu melatakkan kedisiplinan sumber daya manusia yang dimiliki, karena sangat percuma kalau sumber daya manusianya terpenuhi, namun mereka tidak mempunyai semangat dan etos kerja yang baik, sama saja bohong. Pengelola madrasah harus berani menindak sumber daya madrasah kalau memang kinerja mereka tidak layak dan di bawah standart, langkah itu bisa berupa teguran atau penon-aktifan.
Ketiga; Peningkatan partisipasi stakeholder yang di miliki madrasah. Langkah ini yang kurang diperhatikan oleh madrasah dan pengelola madrasah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002 tentang Komite Sekolah/Madrasah dapat di gunakan landasan bagi madrasah untuk peningkatan stakeholder yang di miliki madrasah.
Pemeberdayaan stakeholder madrasah diperlukan untuk menambah catatan dan daya analisis madrasah tentang apa yang dibutuhkan oleh warga masyarakat. Lewat stakeholder madrasah, pengelola madrasah dapat menggali informasi lebih tentang kebutuhan madrasah, dan apa yang diperlukan untuk melestarikan madrasah. Lewat jalan ini pula madrasah dapat merangkul dan melakukan berbagai terobosan dalam meningkatkan manajerial madrasah.
Pelibatan stakeholder madrasah dapat diorientasikan pada emapt hal, yakni advisory agency, supporting agency, controlling agency, dan mediator agency. Dengan kempat pilar tersebut, madarsah harus mmpu mengarahkan pelibatan stakeholder madrasah tidak saja dalam perencanaan makro tetapi sampai pada perencanaan yang lebih operatif, seperti dalam menentukan kebijakan restrukturisasi kurikulum misalnya, sehingga pada nantinya akan menuntut stateholder mampu bekerja secara bersama, juga bertanggung jawab secara bersama.
Keempat; Managerial madrasah yang berbasis pada mutu. Sesuai dengan prinsip manajemen pengembangan mutu, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah harus di gunakan oleh madrasah dan pengelola madrasah untuk menuntut semua warga madrasah secara kolektif mempunyai kesadaran dan perubahan paradigma tentang mutu madrasah itu sendiri. Dengan pengelolaan madrasah yang berbasis pada mutu, kemandirian dalam mengembangan madrasah akan lebih berpengaruh terhadap proses pengembangan program-program madrasah yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.

D. Penutup
Pada Dasarnya Pendidikan Islam memang mengandung berbagai macam pengertian dan terminologi, yakni sebagai sebuah Lembaga Pendidikan dan sebagai sebuah Proses Intelektualisme Islam. Namun semuanya tidak mungkin terpisah di salah satu bagianya.
Proses Intelektualisme Islam sebagai ruh dari Pendidikan Islam juga harus terbebas dari term-term yang selama ini menjadi penyakit akut, yakni dikotomi antara ilmu agama dan umum. Dengan semangat seperti ini, diharapkan Pendidikan Islam mampu menjadi arus yang senantiasa mampu menjadi patron, modal, dan kekuatan bagi umat Islam untuk menjawab berbagai persoalan yang semakin kompleks.
Dan muara dari semua itu adalah kontekstualisasinya dalam Lembaga Pendidikan Islam, yakni upaya merekonstruksi semua elemen Lembaga Pendidikan Islam, baik secara fisik ataupun non fisik, untuk kepentingan bersama yaitu Lembaga Pendidikan Islam yang bermutu yang mampu menyelesaikan semua persoalan yang di hadapi oleh umat (rohmatan lil alamin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar