Minggu, 12 Desember 2010

Rekonstuksi Pemikiran Fiqh Versi Yusuf Al-Qardhawi

Oleh ; M. Yusron, M.S.I

Kegelisahan akademik dalam menulis pemikirannya tentang Ijtihad kontemporer yang dirasakan oleh Yusuf Qardhawi adalah ketika merasakan perputaran dan perkembangan yang terus-menerus dalam berbagai persoalan di dunia ini khususnya dalam bidang hukum atau (fiqh).
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta munculnya persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama-ulama terdahulu seakan dianggap sebagai sesuatu yang tidak logis. Karenanya, bagaimana mungkin akan terpikirkan hukum atas persoalan-persoalan baru tersebut, bila sedetik pun belum pernah terbetik dalam hati mereka. Hal ini mengakibatkan hukum atau fatwa yang ditetapkan oleh ulama-ularna terdahulu tidak relevan lagi lantaran berubahnya masa; tempat, adat-istiadat dan kondisi.
Qardhawi berpendapat setidaknya ada dua bidang kajian hukum yang mengalami perubahan sangat pesat, yaitu; Bidang Hubungan Keuangan Ekonomi dan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran (Medis). Pertama; dalam bidang ekonomi, Qardhawi melihat bahwa pada zaman sekarang persoalan dunia usaha (bisnis) dan perseroan baru dalam bidang ekonomi belum pernah dikenal oleh ulama-ulama dan orang-orang yang hidup pada zaman dahulu, seperti polarisasi bidang ekonomi ditandai dengan munculnya berbagai sistem kegiatan ekonomi baru seperti asosiasi saham (bursa efek), asuransi dan lain sebagainya.
Kedua dalam bidang Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran Qardhawi melihat bahwa ilmu pengetahuan moderen dengan segala hasil temuannya yang canggih dan kemajuan teknologi yang demikian pesat ditambah potensi yang dimiliki manusia terutama di bidang kedokteran berpotensi menimbulkan berbagai macam problem, hal ini menuntut para ulama hukum kontemporer menemukan alternatif pemecahan dan penyelesaiannya menurut hukum Islam.
Atas keglisahan-kegelisahan tersebut, Qardhawi memandang perlunya merespon berbagai persoalan tersebut, dengan kemudian menjadi tugas para ulama kontemporer untuk mencurahkan segala kemempuan yang dimiliki sebagai upaya rekonstruksi hukum yang sesuai dengan persoalan dan setting zaman yang dihadapi.
Qardhawi menganggap bahwa perosalan ijtidad dalam rekonstruksi hukum merupakan keharusan bagi umat islam kontemporer, untuk itu syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dahulu untuk melakukan ijtihad sebenarnya mudah untuk dicapai, hal ini di dasarkan pada asumsi dari bahwa persoalan hukum pada saat ini merupakan sebuah kebutuhan, untuk itu kalau prosesi ijtihad telah dianggap tidak ada dan penuh dengan batasan syarat-syarat, maka kehidupan ini akan selalu dilanda kejumudan dan kebinasaaan. Logika pembolehan ijtihad juga digambarkan oleh Qardhawi dengan argumen bahwa dalam logika Islam sama sekali tidak tergambar bahwa sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia, lalu sesuatu itu oleh Allah diharamkan atas diri mereka.
Ada dua macan metode ijtihad yang ditwarkan oleh Qardhawi yakni Ijtihad Intiqa'i dan Ijtihad Insya'i. Pertama; Ijtihad intiqa'i, ialah proses memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum.
Proses ijtihad Intiqa'i ini menurut Qardhawi adalah melaksanakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu, dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat tersebut; sehingga pada akhirnya kita dapat memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan "kaidah tarjih".
Qardhawi menambahkan bahwa seharusnya bagi seorang yang menekuni hukum Islam pasti rnengerti, bahwa kita ini mempunyai kekayaan pendapat yang bermacam-macam dalam berbaga.i masalah fiqih. Persoalan-persoalan fiqih yang disepakati hukumnya itu masih relatif sedikit dibandingkan dengan persoalan yang hukumnya masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Bahkan banyak di antara persoalan yang diduga,telah disepakati oleh para ulama, ternyata masih menjadi bahanperbedaan pendapat di kalangan mereka.
Seorang pakar fiqih kontemporer semestinya memilih pendapat terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Karenanya, jangan sampai dia membiarkan manusia kebingungan dalam memilih sesuatu pendapat clan menolak pendapat lainnya, yang terkadang pendapat¬pendapat itu sampai memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dimunculkan oleh akal pikiran.
Untuk mengkontekstualisasikan metode ini dalam masa kontemporer, Qardhawi menambahkan perlunya bagi ulama kontemporer memperhatikan instrumen baru yang telah muncul pada abad moderen ini. Sudah barang tentu semua instrumen tadi berpengaruh kuat dalam menyeleksi sekaligus mencari pendapat terkuat dari khazanah fiqih Islam. Adapun instrumen yang mempengaruhi, antara lain: Perubahan Sosial dan Politik Nasional serta Internasional , Pengetahuan Modern dan Ilmu-Ilmunya, dan Desakan-desakan Zaman dan Kebutuhannya.
Kedua; ijtihad kreatif (insya'i) adalah pengambil¬an konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik itu persoalan lama atau baru. Dengan kata lain, bahwa ijtihad insya'i adalah meliputi sebagian persoalan lama, yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pendapat baru dalam masalah itu yang belum didapati dari pendapat ulama-ulama salaf, dan yang demikian itu sah-sah saja, berkat karunia Allah.
Lebih jauh Qardhawi menyampaikan bahwa kita seharusnya menyeru pada ijtihad tanpa dibayangi rasa takut dan khawatir, agar ijtihad tetap berjalan dengan lurus, tidak mundur ke belakang dan tidak pula belok, ke kanan dan ke kiri. Agar proses Ijtihad tersebut benar dan sesuai prosedur yang dijlankan, Qardhawi menambahkan beberapa aturan dan ketentuan pokok untuk ijtihad kontemporer:
• Tidak ada Ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan
• Tidak ada Ijtihad dalam masalah-masalah yang qath'i
• Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath'i
• Menghubungkan antara Fiqih dan Hadis
• Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita
• Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat
• Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya
Membaca jauh pola rekonstruksi pemikiran Yusuf Al-Qordhawi melalui wacaca Ijtihad Kontemporer, seakan memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Tawaran metodologis dari rekonstruksi ijtihad al-Qardhawi seolah memberi angin segar atas penyelesaian kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern seperti kasus aborsi, penjual-belian organ tubuh mayat, dan persoalan yang menyangkut masalah sosial yang berbeda dan berada di komunitas Islam (non muslim).
Disadari ataupun tidak, fiqih sebagai produk hukum seharusnya bisa berkomukasi dengan masyarakat sosial, dan kaidah hukum ushul bahwa “suatu hukum itu harus bisa bersifat fleksibel tergantung dari masa dan tempatnya” harus benar-benar dipahami, agar pola pikir klasik masyarakat Islam demi sedikit akan terkikis, dengan tidak lupa memberikan penyadaran yang berkesinambungan terhadap perkembangan yang ada pada masa kekiniian.
Perbedaan konteks, sejarah, dan permasaahan yang muncul memberi tuntutan luar biasa bagi ulama-ulama fiqh kontemporer agar lebih bersifat distingtif antara syari’ah dan maksud atau kandungan syari’aih itu sendiri. Fiqh sebagai karya ijtihad yang selama ini tampak dengan sifat-sifatnya yang keras, kaku, rigid, dan toesentris, dan dianggap sebagai otoritas pengetahuan, harus lebih dipahami sebagai upaya untuk memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sekarang .
Dalam pandangan ijtihad baru versi al-Qardhawi ini, persoalan-persoalan hukum khusunya fiqh diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan model ijtihad ini, hukum diharapkan mampu berdialog dengan problema-probelama aktual seperti, gender, kewarganegaraan, aborsi, jual beli organ tubuh, serta masalah aktual yang lain. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rarional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar