Minggu, 12 Desember 2010

Wanita Dalam Al-Qur'an ; Amina Waduud dan Agenda Tafsir Sosiolinguistik Gender

Wanita Dalam Al-Qur'an ; Amina Waduud dan Agenda Tafsir Sosiolinguistik Gender

Oleh : M. Yusron, M.S.I

Tema-tema utama dalam al-Qur’an seringkali menganggap perempuan adalah sejenis dengan laki-laki (kecuali secara eksplisit termaktub dalam ayat yang berkaitan hukum waris). Perempuan dan laki-laki adalah dua kategori spesies manusia yang diberi perhatian yang sama atau sederajat, tak satupun dikecualikan dari tujuan utama al-Qur’an, yakni membimbing manusia ke pengenalan dan keyakinan terhadap suatu kebenaran (Al-Haq). Analisa ini menunjukan bahwa sebenarnya tidak ada pembedaan hakiki dalam nilai yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki, dan sama sekali tidak ada indikasi bahwa perempuan memiliki keterbatasan yang lebih banyak atau lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Cendikiawan Islam Amerika, Amina Waduud menganalisa, sebenarnya embrio kekacauan wacana "gender" dibangun atas kontsruksi tafsir sosiolinguistik para ilmuan Islam Abad Skolastik yang chaos dan debatable. Amina Wadud menegaskan bahwa pembedaan hak laki-laki dan perempuan dalam Islam banyak dipengaruhi oleh "pranata sosial" yang sejatinya terlahir hanya dari salah satu kebudayaan bangsa tertentu. Dari situlah kemudian melahirkan "struktur sosial" yang meletakkan perbedaan penerapan norma yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga pada masa kontemporer banyak ditemukan realitas umat Islam yang sedikit agak timpang, dimana peran perempuan lebih terbelakang dari laki-laki.
Amina Wadud dengan lantang menjelaskan bahwa "tafsir eksklusif" yang dibangun atas "budaya patriarki" harus direkonsrtuksi menjadi sebuah konsep tafsir al-Qur’an yang "diadik – dialogis", dan peka terhadap realitas sejarah, sosial dan konstelasi politik. Oleh karena itu, dalam agenda perubahan Islam dan reformasi gender, Amina Waduud menawarkan metode "inguiri of logic", yakni bagaimana selama ini perempuan diperlakukan oleh laki-laki, baik secara individu maupun secara kolektif? Jika jawabannya menunjukkan adanya ketidakadilan, maka reformasi gender bukan saja sebagai sebuah jaminan, lebih dari itu reformasi gender memang harus dibenarkan.
Lebih dari itu, Amina Waduud menambahkan "sense of crisis"-nya dengan mengajak untuk menela'ah ulang apakah selama ini pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi dalam Islam benar-benar berdasar atas pertimbangan alam dan biologis, atau hanya pengaruh dari budaya dan pengalaman satu kaum / bangsa tertentu?.
Amina Waduud mendeskripsikan sejarah Tafsir Sosiolingistik-nya dengan melihat bahwa pada awalnya laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an dan al-Hadist dibedakan secara alamiah dan biologis. Namun dalam perkembangannya, wanita ditempatkan seolah tidak berperan dalam pembentukan skema dasar Islam, dan Laki-laki mengambil tempat strategis tersebut. Kemudian munculah gambaran tentang Islam yang sesuai dengan pengalaman mereka (laki-laki), sehingga terkesan Islam hanya mengikuti pola imajinasi laki-laki, dan selanjutnya hanya laki-laki saja yang berhak mentukan bagaimana baiknya kedudukan wanita dalam Islam, sehingga pada akhirnya muncul "truth claim" bahwa cara pandang yang seperti ini sudah sesuai dengan al-Qur'an dan al-Hadist, serta norma yang berlaku bagi semua orang.
Melihat kecenderungan tafsir sosiolingistik yang seperti ini, Amina Wadud melihat bahwa kenyataannya laki-laki lebih diuntungkan, walalupun Amina Wadud tidak menggolongkan semua laki-laki seperti itu, namun dalam praktek sehari-hari banyak dijumpai sistem hirarki "piramida jantan" yang terus menekan kaum perempuan dalam kategori ras, negara, ataupun agama. Hegemoni ini nampak jelas dalam praktik hukum Islam yang sepanjang sejarahnya selalu menganggap posisi wanita lebih rendah, dimana dalam beberapa diskusi tentang syari’ah, wanita selalu diletakkan sebagai objek pembahasan, dan mereka (perempuan) selalu menerima hasil keputusan, bukan sebagai anggota untuk menentukan keputusan, apalagi sebagai pengambil keputusan. Realita kekinian juga menunjukkan bahwa wanita selalu menjadi yang ke 2 (dua) dalam berbagai urusan (kebijakan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan ekonomi).
Di akhir wacana reformasi gender yang di tawarkan, Amina Waduud mengagendakan pola reformasi tafsir Islam yang lebih mengahargai dan menghormati kaum hawa. Waduud menambahkan bahwa penggunaan dispilin "hermeneutik-linguistik" dengan analisa "filologi" harus dapat di jadikan "approach" dalam metode menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadist yang bersifat umum dan tidak terbatas ruang dan waktu. Semuanya itu di harapkan bermuara pada lahirnya konsep baru tentang "perempuan dalam Islam", yang terbebas oleh struktur budaya otoritas penafsiran patriarki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar